Senin, 18 Oktober 2010

MELIHAT LEBIH DALAM DI BALIK STEREOTIP


Data Buku

Judul: Mereka Bilang Aku China: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa
Penulis: Dewi Anggraeni
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: I, Oktober 2010
Tebal: xvi + 286 halaman
ISBN: 978-602-8811-13-2



Delapan kisah perempuan Tionghoa Indonesia diceritakan di buku "Mereka Bilang Aku China, Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa". Dari judulnya, buku ini jelas menggambarkan isinya. Penulisnya adalah Dewi Anggraeni, seorang novelis sekaligus wartawan keturunan Tionghoa Indonesia yang bermukim di Australia. Dewi yang terlahir dengan nama Tan Soen May itu mengerti betul ganjalan etnisitas itu masih ada.
Ratusan tahun hidup bersama di satu negeri, kaum Tionghoa di Indonesia tak juga lepas dari stereotip-stereotip negatif yang dilekatkan pada mereka. Kisah-kisah getir dan perjuangan menghadapi stereotip negatif itu terungkap dalam buku bersampul merah itu. Melalui kisah para tokohnya terungkap bahwa anggapan semua etnis Tionghoa kaya, mementingkan duit, eksklusif, tidak mempertimbangkan orang lain, memperkerjakan orang lain seperti budak, egoistis, dan tidak punya kesetiaan pada negara tempat tinggal di luar China, tidak selamanya benar.
Rangkaian kekerasan pada etnis Tionghoa yang berulang dalam sejarah Indonesia menjadi benang merah dalam buku yang juga terbit dalam versi bahasa Inggris dengan judul "Breaking The Stereotype" ini.
Buku ini mengungkapkan  pengalaman delapan perempuan dengan berbagai usia dan latar budaya, yaitu aktivis hak asasi Ester Indahyani Yusuf, aktivis buruh dan penulis Linda Christanty, atlet bulu tangkis Susi Susanti, peranakan Tionghoa-Manado Maria Sundah, pemilik restoran Ragusa yang Tionghoa tetapi juga muslim Hajah Sias Mawarni Saputra, janda mendiang politikus Partai Komunis Indonesia Oey Hay Djoen, Jane Luyke Oey, dan kakak adik peranakan Tionghoa-Papua Milana Yo dan Meylani Yo.
Mengangkat perempuan menjadi pilihan tepat mengingat lemahnya posisi kaum hawa dalam setiap peristiwa kekerasan. Teror dan ketakutan pada kerusuhan dan pemerkosaan massal dengan sasaran perempuan Tionghoa Mei 1998 dialami semua tokohnya. Kekerasan dengan skala lokal dialami keluarga Susi Susanti di Tasikmalaya, Jawa Barat, tahun 1997. Kisah beberapa tokohnya juga mengungkap tekanan dan represi yang dialami setelah Gerakan 30 September. Warga Tionghoa menerima represi karena dihubung-hubungkan dengan negara asal leluhur mereka Republik Rakyat China yang berhaluan komunis.
Cerita-cerita dramatis yang mengungkap diskriminasi, kekerasan dalam skala personal, serta kegamangan identitas melengkapi kegetiran itu.
Dengan memperlihatkan diskriminasi dan kekerasan yang terus berulang ini, buku ini menyatakan betapa masalah tersebut telah menjadi permasalahan serius.
Lewat kisah-kisah menyentuh, jelas penulis berusaha memperlihatkan bahwa ikatan kemanusiaan melampaui batas etnisitas. Dengan jernih, Dewi mengupas bahwa stereotip ini merupakan citra yang, mengutip peneliti kekerasan etnis Jemma Purdey, sengaja dibina dan dipertahankan oleh elite politik dari pemerintahan Orde Baru. Dengan memanfaatkan kemakmuran yang rata-rata warga Tionghoa, stereotip negatif itu sengaja dibakar dengan api kecemburuan sosial.

Lintas budaya
Selain isu etnisitas yang diangkat, buku ini kaya dengan pengalaman lintas budaya. Dewi dengan cermat memilih para tokohnya sehingga mewakili keragaman kultur etnis Tionghoa di Indonesia yang terbentuk karena pengaruh budaya lokal. Perbedaan kultur Tionghoa Jawa Tengah dan Jawa Timur serta kisah peranakan Tionghoa-Papua yang masih jarang terangkat ke publik dari kisah Milana Yo dan Meylani Yo, misalnya, memberi kesempatan melongok lebih dalam tentang saling keterpengaruhan budaya itu.
Di sini, pembaca diajak melihat lebih dalam ke berbagai keragaman kultur dan sejarah yang sekaligus juga memperlihatkan adanya tingkatan stereotip yang tidak sama di tiap daerah. Di Papua, stereotip negatif itu nyaris tak dirasakan.
Karya ini merupakan buku non-fiksi Dewi di luar artikel-artikel jurnalistiknya di majalah Tempo dan The Jakarta Post. Sejarahwan dari Melbourne, Australia, Charles A Coppel, mengatakan, Dewi telah membuka pintu untuk cerita-cerita personal yang mencengangkan dan memperdalam pemahaman. Diharapkan cerita-cerita serupa terus bermunculan, bukan dalam kerangka kebencian, tetapi demi membentuk sebuah bangsa yang multietnis.
(Kompas, 18 Oktober 2010)

Jumat, 08 Oktober 2010

POTRET MANAJEMEN MEDIA DI INDONESIA




 
Penulis : Amir Effendi Siregar dkk (12 penulis)
Penerbit : Total Media
Cetakan : I, 2010
Tebal : xvi + 280
ISBN : 979-1519-54-4

Apa itu ilmu manajemen media? Apa bedanya dengan ilmu komunikasi? Pertanyaan itu mengiringi terbitnya buku ini. Dan buku ini menjawab pertanyaan itu dan pertanyaan lainnya.     
Prinsipnya, sebagai ilmu baru, manajemen media didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pengelolaan media berikut prinsip-prinsip dan seluruh proses manajemennya dilakukan. Media memiliki beberapa sisi: sifat komersial dan sosial. Bagaimana keseimbangan dijaga?
Mempelajari manajemen media sangat menarik. Manajemen media penuh ketidakpastian di tengah berbagai perubahan yang memengaruhinya. Di antaranya, perubahan regulasi, fluktuasi ekonomi, sistem permodalan, dan perkembangan teknologi, serta meningkatnya tuntutan dan kesadaran publik.
Sayangnya, sebagai ilmu, kajian tentang manajemen media tertinggal dibanding pengkajian lain, seperti studi jurnalistik, hubungan masyarakat, periklanan, dan penyiaran. Di Indonesia tak banyak literatur manajemen media berbahasa Indonesia. Buku ini menjadi salah satu pilihan.

Sumber:
Naskah: Kompas, 28 Juni 2010
Ilustrasi: bincangmedia.wordpress.com
MENGUAK SEJARAH YANG DISEMBUNYIKAN




 
Judul: Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia
Pascakejatuhan PKI
Penulis: Saskia E Wieringa
Penerjemah: Harsutejo
Penerbit: Galangpress
Cetakan: I, 2010
Tebal: 542 halaman
ISBN: 978-602-8174-38-1

Sejarah adalah milik penguasa. Melalui kecurigaan semacam itu, buku ini menguak fakta sejarah tentang Gerwani, gerakan perempuan Indonesia yang paling disalahpahami semasa Orde Baru, bahkan mungkin tersisa hingga kini.
Penulis buku ini, Saskia Eleonora Wieringa-kini Ketua Gender and Women;s Same-Sex Relation Cross-culturally di University of Amsterdam Belanda-menggambarkan kesalahpahaman terhadap Gerwani itu melalui ceritanya; mengenai mantan anggota Gerwani yang beralih profesi menjadi tukang pijat dan ahli akupuntur terkenal.
Saskia menemui perempuan itu tahun 1985 atau 20 tahun setelah peristiwa 1965, yang oleh penguasa Orde Baru disebut sebagai peristiwa G30SPKI. Kepada Saskia, perempuan tukang pijat itu bercerita:
"Saya sadar anak laki-laki saya sedang menyembunyikan sesuatu terhadap saya. Akhirnya, suatu hari ia mendekati saya dan bertanya, 'Ma, kenapa Mama menjadi anggota kelompok semacam itu, yang moralnya bejat, membawa kerusakan negeri ini? Apakah Mama juga seorang pelacur? Setiap orang bilang semua anggota Gerwani itu pelacur dan wanita busuk.' Bagaimana caranya saya dapat menjelaskan kepadanya, untuk apa kita hidup, apa sebenarnya yang kami cita-citakan dulu?"
Saskia menulis, setelah 20 tahun berlalu, mantan anggota Gerwani yang ia temui hidup dalam trauma. Setelah keluar dari penjara, aktivitas mereka diawasi ketat militer. Mereka juga tak tenang menjalani kehidupan sehari-hari karena mendapat stigma tertentu dari lingkungan. Seperti tergambar pada penuturan tukang pijat tersebut, anggota Gerwani kerap dituduh pelacur dan wanita busuk.
Pada buku ini, Saskia menjelaskan bagaimana konstruksi tentang Gerwani itu dibentuk penguasa Orde Baru. Tingkah laku dan moralitas mereka dicap menyimpang dari kodrat wanita yang mestinya lemah lembut dan penurut.     
Gerwani adalah korban fitnah yang dilekatkan dengan peristiwa pembantaian di Lubang Buaya tahun 1965. Gerwani menjadi obyek penting dalam kampanye nasional tentang keburukan serta bahaya laten komunisme.
Menurut Saskia, buku ini menyajikan sejarah yang selama Orde Baru disembunyikan dalam tiga tingkatan. Pertama, memaparkan feminisme Indonesia dengan menguraikan lebih banyak momen radikal dan penuh keberanian daripada yang pernah disajikan para penulis selama ini. Kedua, menyajikan sejarah yang selama ini dilarang, yakni sejarah Gerwani. Ketiga, dengan mempelajari peristiwa 1965-1966 dari sisi jender, buku ini mengungkap aspek-aspek lain yang bisa menjelaskan proses kelahiran Orde Baru.
Selama ini, aspek-aspek itu tak terlihat karena digelapkan militer ataupun diabaikan penulis sejarah Indonesia modern. Pada akhirnya, buku ini menunjukkan bagaimana penguasa (laki-laki) memperkuat kedudukannya dengan melemahkan gerakan perempuan.

Daftar hitam
Buku ini ditulis berdasarkan tesis Saskia yang berjudul "The Politization of Gender Relations in Indonesia". Untuk tesisnya, Saskia mewawancarai sejumlah mantan anggota Gerwani dan PKI pada awal tahun 1980-an. Akibat aktivitas penelitiannya waktu itu, Saskia sempat masuk daftar hitam negara.
Sebelum buku ini terbit, tesis tersebut juga dibukukan dengan judul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia terbitan Garba Budaya tahun 1999. Mengingat situasi politik saat itu, sebagian besar nama narasumber disamarkan. Kini, nama-nama yang disamarkan dikembalikan ke nama aslinya.   
Dengan menampilkan semua  nama dan kejadian tanpa diedit, buku ini membuka mata pembaca tentang sisi gelap atas peristiwa tahun 1965 serta posisi gerakan perempuan dalam sengkarut peristiwa itu. 
Yosep Adi Prasetyo, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menulis, mempelajari kembali sejarah G30S versi Orde Baru, pembaca akan menemukan benang merah bagaimana rezim Orde Baru menguasai media massa dan menggunakannya untuk kampanye hitam. Cerita kekejian Gerwani menjadi salah satu landasan membangun rezim Orde Baru dan mendongkel rezim Soekarno.
Melalui buku ini, Saskia sukses membongkar babak penting dalam sejarah Indonesia modern, di mana unsur pidana kejahatan terhadap kemanusiaan begitu lengkap terjadi.

Sumber:
Naskah: Kompas, 28 Juni 2010
Ilustrasi: distributorbukukita.com
PENEGUH GERAKAN PEMBARUAN




Judul: 1 Abad Muhammadiyah
Penulis: Tim Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan
Pengembangan PP Muhammadiyah bekerja sama dengan  Lembaga Pustaka
dan Informasi PP Muhammadiyah
Cetakan: Juni, 2010
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: 390 halaman
ISBN: 978-979-709-498-0

Dalam ruang epilog buku berjudul 1 Abad Muhammadiyah, Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif merekomendasikan buku ini sebagai pegangan "wajib" pengurus, aktivis, dan simpatisan Muhammadiyah. Buku setebal 390 halaman itu, menurutnya, layak disebut buku sejarah Muhammadiyah.
Maarif juga menjuluki buku ini sebagai buku paling otoritatif di antara semua literatur tentang Muhammadiyah yang ada. Buku disusun berdasarkan periodisasi sejarah eksistensi Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912. Dipetakan juga gagasan pembaruan sosial keagamaan mulai dari kelahiran, perkembangan, hingga transformasi gagasan sosial keagamaan.
Tim Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan PP Muhammadiyah bekerja sama dengan  Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah mulai menyusun buku sejak Muktamar  Ke-41 Muhammadiyah di Solo tahun 1985. Dari panjangnya proses penyusunan, tak heran jika buku ini menyajikan kelengkapan data serta kaya dengan sajian pembaruan pemikiran. Sayang, buku ini tidak dilengkapi foto atau gambar.
Sejarah Muhammadiyah di buku ini diawali pemaparan konteks sosial keagamaan umat Islam ketika Muhammadiyah berdiri. Muhammadiyah lahir untuk merespons kondisi sosial keagamaan umat Islam yang tidak lagi mempraktikkan agama secara murni, bertabur mistisisme dalam ritual keagamaan, sementara akal tidak berdaya menghadapi tradisi yang penuh kepasifan.
Selanjutnya, buku ini bercerita tentang periode kepemimpinan KH Ahmad Dahlan  (1912-1923) yang memberikan tekanan kuat pada legitimasi sosial, politik, agama, dan kultur bagi Muhammadiyah. Gagasan pembaruan Muhammadiyah pada berbagai bidang memang tidak bisa dilepaskan dari pribadi satu ini.
Pada periode kepemimpian Ahmad Dahlan, muncul gagasan besar Muhammadiyah seperti perbaikan arah kiblat, pelibatan perempuan dalam kegiatan publik, pendirian PKU (Pertolongan Kesengsaraan Umum) Muhammadiyah, serta panti yatim piatu. Ahmad Dahlan tidak punya pengalaman pendidikan Barat, tetapi memberi ruang yang luas bagi gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam.
Semangat rasionalitas itu tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaruan di Timur Tengah yang diprakarsai Djamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Gerakan di Timur Tengah inilah yang menginspirasi gerakan pembaruan Ahmad Dahlan dan membuka pintu ijtihad dan menolak segala bentuk taklid, takhayul, bidah, dan khurafat.
Modernisasi di bidang pendidikan yang dilakukan Ahmad Dahlan antara lain pengembangan sekolah yang mengintegrasikan kurikulum pendidikan agama dengan pendidikan umum. Inilah pertama kalinya pengajaran pendidikan umum diberikan kepada murid di sekolah Islam.
           
Gerakan pemikiran
Dalam tulisan prolognya, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Abdul Munir Mulkhan mengungkapkan, pembelaan terhadap kaum miskin dan tertindas sejatinya sudah menjadi bagian integral dari perjalanan sejarah Persyarikatan Muhammadiyah. Berbagai amal usaha benar-benar menyentuh kalangan bawah, mulai dari kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Buku ini juga memaparkan pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah sepeninggal Ahmad Dahlan. Maarif menambahkan, Muhammadiyah sejak awal  tidak dirancang sebagai gerakan intelektual, tetapi perkembangan zaman setelah menempuh perjalanan satu abad jelas mengharuskan Muhammadiyah menyusun strategi ke arah itu.
Menurut Maarif, pluralisme menjadi prasyarat bagi subur dan berkembangnya gerakan intelektual di muka bumi. Melemahnya gerakan intelektual di dunia Muslim sejak 5-6 abad lalu lebih karena prasyarat pluralisme itu tak lagi terpelihara, bahkan sampai batas-batas yang jauh telah tertindas.
Jika Muhammadiyah mampu menampilkan diri sebagai gerakan pemikiran yang menjadi bagian dari amal saleh, Maarif meyakini sumbangan Muhammadiyah untuk Indonesia ke depan akan lebih bermakna.

Sumber:
(Kompas, 12 Juli 2010)
MATAHARI PEMBARUAN
Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan

Penulis    : HM Nasruddin Anshoriy Ch
Penerbit : Jogja Bangkit Publisher
Cetakan  : I, 2010
Tebal      : 188 halaman
ISBN     : 978-602-97032-1-4

Penulisan dan penerbitan buku ini, seperti diakui penulisnya, berawal dari perbincangan santai. Produksi menjadi serius ketika mereka terlibat diskusi dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah menjelang Satu Abad Muhammadiyah.
Buku berisi lima bagian, minus pendahuluan dan lampiran. Pada pendahuluan, penulis memberi porsi banyak bagi sejumlah tokoh Islam budayawan, yang mengomentari eksistensi gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu.
Secara khusus, penulis juga menekankan bahwa buku itu ingin mencari bukti dan memberi jawab mengenai Muhammadiyah sebagai pembaharu, yang ternyata masih ada yang mempertanyakannya.
Bagian pertama lebih banyak berisi sejarah berdirinya Muhammadiyah. Kedua, menyinggung perpolitikan. Bagian ketiga diberi judul Menjadi Muhammadiyah. Berikutnya berisi tantangan satu abad. Adapun bagian akhir dimuat mutiara kata KH Ahmad Dahlan.

Sumber
Kompas, 26 Juli 2010
MENGGUGAT KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA





Data Buku
Judul   : Menggugat Keistimewaan Jogjakarta
Penulis : Suro Sakti Hadiwijoyo
Penerbit: Pinus
Cetakan : I, 2009
Tebal   : 240 halaman

Tak seperti nama besar yang disandangnya, "Daerah Istimewa Yogyakarta", nasib DIY justru sedang tak "istimewa". Undang-Undang Keistimewaan DIY yang diharapkan meneguhkan keistimewaan itu tak kunjung lahir. Pusaran kepentingan politik menjadikan bangunan keistimewaan DIY dalam keadaan kritis.
Polemik keistimewaan DIY sudah ditulis dan dikupas dalam berbagai artikel di surat kabar maupun buku. Salah satunya, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta, Tarik Ulur Kepentingan, Konflik Elite, dan Isu Perpecahan karya Suryo Sakti Hadiwijoyo. Buku ini, dari sisi waktu, terasa pas untuk dibaca karena hingga kini perdebatan isi keistimewaan terus berlangsung. Nasib RUUK DIY pun belum jelas benar.
Pada bukunya, Suryo-yang pegawai negeri sipil pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Salatiga-menuliskan, tersendat-sendatnya penyelesaian UUK DIY tak semata-mata berkutat masalah hukum, namun lebih kental nuansa politis. Hal itu karena DIY mempunyai posisi tawar cukup kuat di hadapan pemerintah pusat. Itu tak terlepas dari peran pemimpin Kasultanan dan Pakualaman dalam proses dinamika ketatanegaraan di masa kemerdekaan dan reformasi.   
Posisi tawar dari aspek politik yang cukup kuat itu menyebabkan pemerintah pusat cenderung berhati-hati, bahkan bisa dikatakan lamban menyikapi polemik keistimewaan DIY. "RUUK DIY menjadi komoditas politik bagi elite-elite politik tertentu terutama dikaitkan dengan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 maupun pilpres 2009." (hal 190-191)     
Suryo memandang ada empat pihak yang berperan penting bagi masa depan keistimewaan DIY, yaitu lingkungan Kasultanan dan Pakualaman, rakyat, pemerintah pusat, dan elite politik. Keterlibatan Kasultanan dan Pakualamam diperlukan dalam memformulasikan substansi keistimewaan DIY. Dari sisi rakyat, keberadaan daerah istimewa sangat ditentukan kehendak dan keinginan rakyatnya.     
Suryo membandingkan apa yang terjadi di Surakarta, yang sebelumnya juga berstatus Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Kuatnya penolakan DIS oleh gerakan antiswapraja membuat pemerintah pusat mengganti DIS menjadi karesidenan. Namun, sesungguhnya kunci penyelenggaraan pemerintah daerah yang berbasis keistimewaan adalah kemauan politik pemerintah pusat, meski konstelasi politik dan kepentingan elite nasional dan lokal juga sangat berperan.     
Menyoroti mekanisme suksesi gubernur/wakil gubernur, Suryo menawarkan empat alternatif. Pertama, penetapan langsung Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Kedua, pemilihan langsung yang bisa diikuti setiap warga negara tanpa memandang kerabat Kasultanan/Pakualamam atau bukan. Ketiga, pemilihan terbatas, yaitu kandidat dari Kasultanan dan Pakualaman. Keempat, pemisahan institusi Keraton dan Pakualaman. Dilakukan pemisahan jabatan antara Sultan dan PA dengan jabatan gubernur/wakil gubernur. Keduanya ditempatkan pada kedudukan terhormat secara kultural, namun dapat memberi pertimbangan kepada gubernur dan DPRD. Keempatnya diurai keunggulan dan kelemahannya.

Berdasarkan riset
Buku ditulis berdasar riset tesis penulisnya yang berjudul Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Jogjakarta (Perspektif Sejarah Hukum dan Kekuasaan) saat menempuh studi di Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia. Buku ini perlu dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui seputar persoalan keistimewaan DIY.
Buku dilengkapi sejarah dan kajian hukum perundang-undangan yang mendukung maupun yang melemahkan keistimewaan DIY, termasuk menyinggung isu perpecahan keraton. Dari sisi alternatif solusi, hampir tidak ada yang baru.
Buku ini lebih banyak berisi kajian pustaka. Menjadi lebih lengkap bila dilakukan wawancara langsung atau jajak pendapat warga DIY sehingga sejalan dengan semboyan suara rakyat adalah suara Tuhan.   
Buku juga tidak tegas memilih alternatif mana yang terbaik terkait suksesi gubernur/wakil gubernur DIY; hanya memaparkan preferensi pilihan yang tertuang dalam naskah akademik RUUK DIY yang disusun Tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Itu adalah konsekuensi pilihan penulis untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan tidak memihak. Dari sisi teknis, banyak ditemukan salah ketik ejaan yang cukup mengganggu kenyamanan membaca.

Sumber:
Naskah= Kompas, 26 Juli 2010 
Ilustrasi= penerbitpinus.com
TINTA EMAS DI KANVAS DUNIA





Penulis : Pitan Daslani
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetakan : II, Maret 2010
Tebal : xxii + 226 halaman
ISBN : 978-979-709-466-9

Menjadi hebat tak harus pintar dengan kemampuan akademis luar biasa. Begitu pun menjadi dokter hebat dan bereputasi dunia. Dokter Eka Julianta Wahjoepramono membuktikan semua itu. Kerja keras, pantang menyerah, dan percaya diri menjadi senjata gabungan hingga ia dikenal sebagai ahli bedah syaraf bereputasi internasional. Ia dokter bedah syaraf pertama yang sukses membedah batang otak. Sukses besar itu dilakukan tanpa pengalaman sebelumnya.
Ia pun berkeliling dunia memaparkan keberhasilannya, termasuk di antaranya di Harvard Medical School. Ia sering duduk satu meja dengan para dokter bedah syaraf kelas dunia yang sebelumnya hanya ia kenal melalui buku atau diktat.
Semua mungkin karena kerja keras. Bagaimana tidak? Ia tumbuh di tengah keluarga sangat sederhana di sebuah desa di Klaten.  Berkat pakdenya yang kaya, tanpa anak, ia menapaki sukses sebagai dokter seperti sekarang.
Lika-likunya menembus sekolah kedokteran di Universitas Diponegoro Semarang penuh perjuangan. Ia melewati rintangan karena statusnya sebagai warga keturunan. Rintangan itu tak berhenti usai ia lulus kuliah. Namun, ia maju terus.

Sumber:
Naskah= Kompas, 9 Agustus 2010
Ilustrasi= kampusbook.com