Senin, 18 Oktober 2010

MELIHAT LEBIH DALAM DI BALIK STEREOTIP


Data Buku

Judul: Mereka Bilang Aku China: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa
Penulis: Dewi Anggraeni
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: I, Oktober 2010
Tebal: xvi + 286 halaman
ISBN: 978-602-8811-13-2



Delapan kisah perempuan Tionghoa Indonesia diceritakan di buku "Mereka Bilang Aku China, Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa". Dari judulnya, buku ini jelas menggambarkan isinya. Penulisnya adalah Dewi Anggraeni, seorang novelis sekaligus wartawan keturunan Tionghoa Indonesia yang bermukim di Australia. Dewi yang terlahir dengan nama Tan Soen May itu mengerti betul ganjalan etnisitas itu masih ada.
Ratusan tahun hidup bersama di satu negeri, kaum Tionghoa di Indonesia tak juga lepas dari stereotip-stereotip negatif yang dilekatkan pada mereka. Kisah-kisah getir dan perjuangan menghadapi stereotip negatif itu terungkap dalam buku bersampul merah itu. Melalui kisah para tokohnya terungkap bahwa anggapan semua etnis Tionghoa kaya, mementingkan duit, eksklusif, tidak mempertimbangkan orang lain, memperkerjakan orang lain seperti budak, egoistis, dan tidak punya kesetiaan pada negara tempat tinggal di luar China, tidak selamanya benar.
Rangkaian kekerasan pada etnis Tionghoa yang berulang dalam sejarah Indonesia menjadi benang merah dalam buku yang juga terbit dalam versi bahasa Inggris dengan judul "Breaking The Stereotype" ini.
Buku ini mengungkapkan  pengalaman delapan perempuan dengan berbagai usia dan latar budaya, yaitu aktivis hak asasi Ester Indahyani Yusuf, aktivis buruh dan penulis Linda Christanty, atlet bulu tangkis Susi Susanti, peranakan Tionghoa-Manado Maria Sundah, pemilik restoran Ragusa yang Tionghoa tetapi juga muslim Hajah Sias Mawarni Saputra, janda mendiang politikus Partai Komunis Indonesia Oey Hay Djoen, Jane Luyke Oey, dan kakak adik peranakan Tionghoa-Papua Milana Yo dan Meylani Yo.
Mengangkat perempuan menjadi pilihan tepat mengingat lemahnya posisi kaum hawa dalam setiap peristiwa kekerasan. Teror dan ketakutan pada kerusuhan dan pemerkosaan massal dengan sasaran perempuan Tionghoa Mei 1998 dialami semua tokohnya. Kekerasan dengan skala lokal dialami keluarga Susi Susanti di Tasikmalaya, Jawa Barat, tahun 1997. Kisah beberapa tokohnya juga mengungkap tekanan dan represi yang dialami setelah Gerakan 30 September. Warga Tionghoa menerima represi karena dihubung-hubungkan dengan negara asal leluhur mereka Republik Rakyat China yang berhaluan komunis.
Cerita-cerita dramatis yang mengungkap diskriminasi, kekerasan dalam skala personal, serta kegamangan identitas melengkapi kegetiran itu.
Dengan memperlihatkan diskriminasi dan kekerasan yang terus berulang ini, buku ini menyatakan betapa masalah tersebut telah menjadi permasalahan serius.
Lewat kisah-kisah menyentuh, jelas penulis berusaha memperlihatkan bahwa ikatan kemanusiaan melampaui batas etnisitas. Dengan jernih, Dewi mengupas bahwa stereotip ini merupakan citra yang, mengutip peneliti kekerasan etnis Jemma Purdey, sengaja dibina dan dipertahankan oleh elite politik dari pemerintahan Orde Baru. Dengan memanfaatkan kemakmuran yang rata-rata warga Tionghoa, stereotip negatif itu sengaja dibakar dengan api kecemburuan sosial.

Lintas budaya
Selain isu etnisitas yang diangkat, buku ini kaya dengan pengalaman lintas budaya. Dewi dengan cermat memilih para tokohnya sehingga mewakili keragaman kultur etnis Tionghoa di Indonesia yang terbentuk karena pengaruh budaya lokal. Perbedaan kultur Tionghoa Jawa Tengah dan Jawa Timur serta kisah peranakan Tionghoa-Papua yang masih jarang terangkat ke publik dari kisah Milana Yo dan Meylani Yo, misalnya, memberi kesempatan melongok lebih dalam tentang saling keterpengaruhan budaya itu.
Di sini, pembaca diajak melihat lebih dalam ke berbagai keragaman kultur dan sejarah yang sekaligus juga memperlihatkan adanya tingkatan stereotip yang tidak sama di tiap daerah. Di Papua, stereotip negatif itu nyaris tak dirasakan.
Karya ini merupakan buku non-fiksi Dewi di luar artikel-artikel jurnalistiknya di majalah Tempo dan The Jakarta Post. Sejarahwan dari Melbourne, Australia, Charles A Coppel, mengatakan, Dewi telah membuka pintu untuk cerita-cerita personal yang mencengangkan dan memperdalam pemahaman. Diharapkan cerita-cerita serupa terus bermunculan, bukan dalam kerangka kebencian, tetapi demi membentuk sebuah bangsa yang multietnis.
(Kompas, 18 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar