Jumat, 08 Oktober 2010

WAJAH KEKUASAAN... WAJAH KITA...




- Judul Buku: Tangan Besi: 100 Tiran Penguasa Dunia
- Penulis: Monsanto Luka
- Penerbit: Galangpress
- Cetakan: 2008
- Tebal: 291 Halaman


Adalah Alexander Agung (356-323 SM). Dua kitab agama, Quran dan  Bibel, mencatat tokoh ini sebagai raksasa bengis dan tiran dalam  mengembangkan kekuasaan. Quran menyebut Raja Macedonia ini sebagai  Monster Bertanduk Dua, yang akan menghancurkan bumi. Sedangkan Bibel  menyebut Alexander Agung adalah Monster Ketiga, yang melakukan  pembantaian berdarah umat manusia.
Rasanya ukuran moral mana lagi yang akan dikedepankan jika Quran dan Bibel sudah menempatkan seorang Alexander sebagai penguasa yang tiran. Kalau tirani dicatat agama sebagai tindakan yang amoral, maka sebenarnya Alexander adalah musuh agama. Kalau menjadi musuh agama, maka orang itu pasti berada dalam peradaban yang mengingkari konvensi-konvensi hakiki moralitas kehidupan. 
Sejak ayahnya-Raja Macedonia  Philip II-mengangkat Alexander menjadi wali pada tahun 340 SM mulai tampak perangai tirani itu. Ketika itu Alexander yang masih berusia 16 tahun, dengan cepat, bisa menumpas pemberontakan orang -orang Maedi  dan Trace. Kota yang kemudian dikuasai diganti nama Alexandropolis, sesuai dengan namanya. Dua tahun setelah peristiwa ini Alexander melakukan pembantaian pasukan elite dari Thebes.
Tirani itu makin tampak jelas ketika Alexander naik takhta di Macedonia pada tahun 336 SM dengan cara membunuh ayahnya, Philip II. Adik lain ibu yang dipersiapkan untuk mengganti Alexander juga dibunuh, termasuk ibu sang adik yang menjadi istri muda Philip juga dibantai.
Alexander juga menyerang Yunani dan membantai 6.000 penduduk, dan menjadikan 30.000 warga Yunani menjadi budak. Alexander juga membakar hidup-hidup ribuan orang yang terdiri dari ibu dan anak-anak di Kota Tyre, Macedonia Timur. Para lelaki di kota itu dibunuh dengan cara disalib, dan 3.000 lelaki dijual sebagai budak.
Buku berjudul Tangan Besi-100 Tiran Penguasa Dunia karya Monsanto Luka menceritakan cukup gamblang kisah Alexander ini. Sebagaimana judulnya, buku ini memuat polah tingkah 100 tokoh penguasa di dunia dalam mengelola pemerintahan.
Lebih tepat lagi, buku ini mencatat sepak terjang tokoh yang otoriter, kejam, sewenang-wenang, dan cenderung melanggar perikemanusiaan. Di samping memuat nama Alexander, buku itu mengisahkan kekuasaan Fidel Castro, Ayatollah Khomeini, Benito Mussolini, Adolf Hitler, termasuk di dalamnya sepak terjang Soekarno dan Soeharto dalam mengelola negara Indonesia.
Membaca buku itu, yang muncul dalam benak kemudian adalah bahwa setiap kekuasaan selalu diwarnai pertumpahan darah. Dan, itu berlaku dari zaman ke zaman,  sejak zaman sebelum masehi sampai peradaban global ini. Sepertinya sejarah bumi ini adalah darah itu sendiri. Darah yang selalu mengalir dari jasad-jasad yang lemah yang namanya rakyat itu sendiri.
Maka, benar apa yang tertulis di sampul belakang buku ini, bahwa kekuasaan selalu berdampak ganda. Negara kuat berjalan seiring dengan lemahnya posisi rakyat.
Seratus tokoh dalam buku itu adalah juga manusia. Ya, manusia seperti kita. Karena itu, kita pun bisa berlaku sama ketika kekuasaan itu merasuk. Karena itu, wajah-wajah kekuasaan itu adalah juga wajah-wajah kita.
Ya, wajah kita tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan. Bacahlah dalam buku itu, kisah Kaisar Perempuan dari China, Wu Hou  (625-705). Perempuan yang dalam usia 13 tahun sudah menjadi selir kaisar pertama dinasti Tang, bernama T'ai Tsung, berburu kekuasaan dengan tipu daya cinta yang berbisa.
Setelah T'ai Tsung meninggal, perempuan ini mengalihkan cintanya kepada pewaris takhta bernama Kao Tsung dan menjadi istri kesayangan. Dalam posisi inilah, Wu Hou melakukan kekejaman dengan membunuh para perempuan selir kaisar lainnya. Bahkan dia bisa menyingkirkan Kao Tsung suami mudanya itu, dan naik takhta pada  tahun 655.
Saat memerintah itulah, Wu Hou  memengaruhi gerak pemerintahan dengan membunuh siapa saja  yang memprotes hubungan sedarahnya dengan sang kaisar yang juga suami mudanya itu. Kekejian banyak dilakukan selama menjalankan pemerintahannya.

Perenungan
Membaca buku ini, kita memang tidak sedang dihadapkan sebuah cermin kehidupan, melihat satu demi satu, dari kekejian yang satu ke kejian yang lain. Dengan buku itu, kita tidak hanya dibawa ke alam keheranan setelah menyaksikan, membaca tentang manusia dengan senjata kekuasaannya. 
Perenungan lebih jauh tentang buku ini paling tidak akan membawa kita kepada penyadaran diri, yang disebutkan orang Jawa sebagai "tengen ing budi"-selalu peka terhadap setiap perubahan kondisi kemanusiaan kita. Jika setiap individu manusia selalu punya kesadaran dirinya adalah pelayan kemanusiaan, maka kita tidak akan memperlakukan kekuasaan itu sebagai tombak yang haus darah.
Lagu Tamba Ati yang pertama kali dipopulerkan oleh Emha Ainun Nadjib sepenggal syairnya berbunyi ...Uwong soleh kumpulana...." (Orang baik ajaklah berteman....) Ungkapan itu bukan sekadar ajakan untuk masuk dalam lingkaran kebaikan. Lebih dari itu juga mengandung makna, terbentuknya komunitas-komunitas kecil yang selalu bergumul dengan nilai dan harkat kemanusiaan. Jika komunitas-komunitas kecil itu muncul di mana- mana, maka sesungguhnya telah terbentuk sebuah jaringan yang membendung munculnya kekuasaan yang adikuasa.     Kalau toh disebut ada kelemahan, buku ini tidak mencantumkan daftar referensi. Apa pun kategori buku ini, pertanggungjawaban kepada pembaca tetap diperlukan.

Sumber:
Sumber naskah: Kompas, 23 April 2008
Sumber ilustrasi: www.perpustakaan-ngawi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar