Jumat, 08 Oktober 2010

GETIR PARA GUNDIK DI ZAMAN KOLONIAL






DATA BUKU
Judul: Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda
Penulis: Reggie Baay
Penerjemah: Siti Hertini Adiwoso
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan: Jakarta, Juni 2010
Tebal: XX + 300 halaman
ISBN:  979-3731-78-8



Periode kolonialisasi Belanda di kepulauan nusantara menghadirkan beragam kisah pilu yang menggugah rasa kemanusiaan. Pada buku ini, Reggie Baay mengangkat salah satu kisah pilu yang jarang dibicarakan saat membahas periode kolonialisasi tersebut.
Buku setebal 300 halaman ini mengulik sejarah pergundikan di era kolonial. Dari buku ini, wajah kolonialisasi jelas tak hanya merampas hak ekonomi dan politik, tetapi juga merepresi manusia pada wilayah yang paling privat.
Baay menjabarkan kisah-kisah para perempuan Jawa yang menjadi nyai atau gundik laki-laki Belanda berikut konteks sosial politik pada era itu. Buku ini menjadi penting karena pembaca diajak melihat dampak kolonialisme dari sisi yang lain. Pergundikan tak hanya menimbulkan penderitaan bagi para perempuan pribumi yang dijadikan nyai, tetapi juga bagi anak-anak berdarah campuran yang mereka lahirkan.
Menurut Baay, para nyai muncul ketika para pegawai perusahaan dagang Belanda (VOC) tiba di nusantara sekitar tahun 1600. Di Hindia Belanda, mereka membutuhkan pembantu untuk mengurus rumah. Pada banyak kasus, pembantu yang biasanya adalah perempuan pribumi itu sekaligus menjadi teman tidur dan ibu dari anak-anak mereka.
Hubungan pergundikan biasanya terjalin dalam posisi tak seimbang. Di sana, ada keterpaksaan karena para gundik sangat tergantung pada tuannya. Tak jarang, mereka dicampakkan begitu saja bila tak diinginkan lagi. Bahkan, sering kali anak-anak hasil hubungan mereka direnggut untuk dibawa ke Belanda.     
Para gundik pun menjadi pendamping "sementara" sebelum para lelaki Eropa menemukan istri Eropa, yang dinilai jauh lebih layak.

Diskriminasi
Para nyai tak memiliki hak secara resmi. Jika ia disuruh pergi keluar rumah majikannya, mau tak mau ia harus pergi dengan tangan kosong. Kondisi itu berbeda jika ia sempat membuat perjanjian dengan tuan sekaligus "suaminya" itu.
Tanpa hak, seorang nyai tak mendapat perlindungan sama sekali dari perlakuan merugikan pasangannya yang majikannya itu. Padahal, kebanyakan lelaki Eropa yang merasa superior-karena kulit putihnya-membenarkan diri untuk berbuat kasar kepada penduduk pribumi, termasuk nyai-nya.
Dari semua diskriminasi, hal yang paling menyakitkan adalah bahwa para nyai tidak bisa menutut hak asuh atas anak-anaknya yang lahir dari pergundikan. Hal itu diatur tegas dalam undang-undang yang berlaku saat itu. Mereka dipaksa berpisah dengan anak-anaknya. Kondisi semacam ini, misalnya, juga digambarkan sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya tetralogi Buru.
Dari sisi Belanda, selaku pihak yang berkuasa pada waktu itu, fakta keberadaan para nyai dianggap aib, kecuali pada tangsi militer. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen pun mengeluarkan larangan bagi laki-laki Eropa untuk memelihara gundik. Hal ini, antara lain, juga dipengaruhi pandangan bahwa perempuan pribumi sangat jelek dan bodoh sehingga hanya akan menghasilkan anak-anak campuran yang tidak berkualitas.
Anak-anak campuran yang lahir dari pergundikan pun hidup dalam ketidakpastian. Mereka dianggap tidak "berdarah murni" sehingga kesulitan mendapatkan fasilitas seperti bapak Eropa mereka. Sebagian dari mereka juga dipisahkan dari ibu kandungnya sejak kecil sehingga tak memiliki kenangan sedikit pun tentang perempuan yang telah melahirkannya.
           
Obsesi pribadi
Obsesi Baay pada kisah para perempuan Jawa yang menjadi gundik laki-laki Belanda didorong sejarah keluarganya. Baay memiliki nenek yang tak pernah ia kenal. Nenek atau ibu dari ayahnya itu diduga seorang perempuan Jawa yang tinggal di sekitar Sragen, Jawa Tengah.   
Sejak kecil, ayahnya dipisahkan dengan perempuan yang melahirkannya sehingga tak punya memori apa pun tentangnya. Seperti ayahnya, ada banyak anak campuran yang tak mengenal ibu kandungnya dan dipaksa mengubur masa lalunya.   
Pada buku ini, Baay menampilkan profil sejumlah perempuan pribumi yang menjadi Nyai, lengkap dengan foto dan kisah mereka. Hanya sedikit nyai yang bisa hidup bahagia dengan suaminya. Kebanyakan nyai tak diketahui kabarnya karena dipaksa pergi dan berpisah dengan keluarga Eropa-nya.
Sedikit kekurangan dari buku ini barangkali terletak pada penyuntingan yang tidak cermat sehingga ada tahun yang tidak runtut. Selain itu, profil para nyai ditampilkan secara kaku dengan kualitas terjemahan yang kurang memuaskan.
Meski begitu, buku ini sangat layak dibaca siapa pun. Lewat buku ini, terlihat bahwa kisah mengenai pemerasan ekonomi dan perbudakan selalu menempatkan perempuan pada obyek. Tak hanya didiskriminasikan dalam hak bersuara, tetapi juga fisik: dipaksa berpisah dengan anak kandungnya.

Sumber:
Naskah: Kompas, 6 September 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar