Jumat, 08 Oktober 2010

SUARA KEMANUSIAAN DALAM KOLONIALISME




- Judul Buku: Max Havelaar
- Penulis: Multatuli
- Penerbit: Narasi
- Cetakan: 2008
- Tebal: 396 Halaman

Penindasan menyisakan borok bagi mereka yang terjajah dan tercerabut haknya. Bagi "kaum penjajahnya", kisah itu ibarat sejarah kemenangan yang tak boleh diutak-atik lagi. Namun, Multatuli-lewat roman Max Havelaar-justru membuka tabir tersebut kepada dunia. Kemenangan bagi satu pihak adalah kehilangan habis-habisan bagi yang lain.
Max Havelaar adalah roman karya Multatuli-nama samaran Eduard Douwes Dekker-yang terbit pertama kali tahun 1860. Bisa dikatakan, inilah sastra yang pertama kali memuntahkan isi perut kolonialisme. Yang menarik lagi, roman ini ditulis seorang "kulit putih" yang justru mendapat hak privilese pada masa itu.   
Kita pun dibawa ke Hindia Belanda sekitar tahun 1800, tepatnya di wilayah Lebak, Banten. Kala itu, pribumi menjadi lapisan terendah struktur masyarakat.   
Mengapa? Secara hierarkis, Negara Hindia Belanda atau Hindia Timur Belanda dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan hubungan Ibu Pertiwi dengan masyarakatnya. Satu bagian berisi suku bangsa, yang pangeran dan pangeran mudanya mengenal Belanda sebagai pemegang kekuasaan. Meski begitu, tetap saja pemerintahan langsung berada di tangan pemimpin pribumi.
Bagian lainnya adalah warga negara Belanda yang jumlahnya tentu sangat sedikit. Di manakah rakyat pribumi? Otomatis, kala itu orang Jawa adalah warga negara Belanda. Raja Belanda adalah raja orang Jawa. Keturunan dari pangeran dan bangsawan adalah pejabat berbangsa Belanda, demikian ditulis Multatuli.
Dalam nada satir, Multatuli menggambarkan jelas apa yang tengah terjadi, penindasan berstruktur. Raja-raja lokal yang menjadi pemimpin pun ternyata adalah bidak pemimpin di atasnya. Yang juga terbaca adalah ketercerabutan identitas. Tidak ada keindonesiaan di masa tersebut, kesamaan nasib karena ditindas belum melecut warga untuk bermimpi akan Indonesia yang merdeka. Hanya borok dan perih yang bisa dirasa.

Havelaar
Havelaar, Asisten Residen Divisi Banten Kidul (Banten Selatan) yang baru, membaca borok tersebut. Pria berusia 35 tahun ini digambarkan langsing dan cekatan. Dia tidak istimewa kalau dilihat sejenak, tetapi memendam ide-ide yang membakar. Multatuli menggambarkannya seperti "perahu kontradiksi", tajam seperti silet namun berhati lembut seperti seorang gadis.   
Havelaar memang orang Eropa, tetapi dia berbeda dengan koleganya yang lain. Masyarakat Eropa di Hindia Timur Belanda  pun sebenarnya terbagi dua saat itu, yakni orang Eropa asli dan mereka yang tidak lahir di Eropa tetapi menikmati hak yang sama dengan Eropa asli. Meskipun keduanya sama-sama terlahir sebagai hollander, pembedaan nyata terlihat. Mereka yang bukan Eropa asli disebut separuh kasta (liplap).
Bahkan, dalam tubuh "Eropa" sendiri friksi-friksi tersebut menimbulkan ketegangan. Satu contohnya adalah tidak mungkin kala itu orang Eropa akan bergaul dengan liplap.
Havelaar tentu Eropa asli, tetapi ia menerabas apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Eropa pada masa itu. Ia turun langsung dan menyaksikan langsung kelaparan, ketertindasan yang telah digoreskan "kaumnya" pada negeri jutaan pulau.   
Dalam sebuah momen ketika ia dituduh telah melindungi warga oleh seorang Residen, Havelaar menjawab, "Residen, saya adalah Asisten Residen Lebak, saya telah berjanji untuk melindungi masyarakat dari pemerasan dan tirani...."   
Bisa dikatakan, Havelaar pun sebenarnya gamang dengan posisinya sebagai asisten residen. Dengan jabatannya, ia seharusnya bisa mendapat "lebih" banyak uang dengan memeras, seperti yang dilakukan teman-temannya. Namun, ia memilih tidak melakukan.     
Di sisi lain, Havelaar menanggung istri dan anaknya "si kecil Max" yang tak ingin dibiarkannya kesulitan. Dilema ekonomi dan kemanusiaan tersebut begitu nyata dialami Havelaar. Ia memilih kemanusiaannya.

Terjemahan
Membaca Max Havelaar setelah lebih dari 100 tahun diterbitkan tetap menyisakan perih yang sama. Jejak-jejak kolonialisme itu masih nyata di zaman ini. Momen satu abad kebangkitan nasional pun seakan menjadi pengingat bahwa kita pernah terjajah!   
Buku ini akan selalu abadi untuk disimak ketika kita ingin melihat "siapa kita" berabad-abad lalu. Kemudian, sudahkah kita beranjak dari masa satu abad lalu? Atau kita masih terjajah tetapi tak merasa diri dijajah?
Sastra yang satir ini harusnya  bisa menjadi bahan refleksi paling bening kalau saja terjemahannya pun mendukung. Saya kecewa membaca jalinan kalimat yang rumit dan terlalu banyak kata yang dicetak miring. Untuk beberapa kata mungkin artinya penegasan, tetapi ketika terlalu banyak, saya tidak menemukan makna lebihnya.
Belajar dari kurang mulusnya terjemahan, semoga saja ada versi cetak ulang Max Havelaar. Mungkin kita memang perlu membeli hak cipta yang menjamin setiap buku diterjemahkan dengan tepat dan benar. Pembaca berhak untuk itu. Kebenaran yang harusnya bisa mencerahkan bisa jadi menggelapkan karena kesalahan penyampaian bahasa.

Sumber:
Naskah: Kompas, 21 Mei 2008 
Ilustrasi: pda-id.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar