Senin, 18 Oktober 2010

MELIHAT LEBIH DALAM DI BALIK STEREOTIP


Data Buku

Judul: Mereka Bilang Aku China: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa
Penulis: Dewi Anggraeni
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: I, Oktober 2010
Tebal: xvi + 286 halaman
ISBN: 978-602-8811-13-2



Delapan kisah perempuan Tionghoa Indonesia diceritakan di buku "Mereka Bilang Aku China, Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa". Dari judulnya, buku ini jelas menggambarkan isinya. Penulisnya adalah Dewi Anggraeni, seorang novelis sekaligus wartawan keturunan Tionghoa Indonesia yang bermukim di Australia. Dewi yang terlahir dengan nama Tan Soen May itu mengerti betul ganjalan etnisitas itu masih ada.
Ratusan tahun hidup bersama di satu negeri, kaum Tionghoa di Indonesia tak juga lepas dari stereotip-stereotip negatif yang dilekatkan pada mereka. Kisah-kisah getir dan perjuangan menghadapi stereotip negatif itu terungkap dalam buku bersampul merah itu. Melalui kisah para tokohnya terungkap bahwa anggapan semua etnis Tionghoa kaya, mementingkan duit, eksklusif, tidak mempertimbangkan orang lain, memperkerjakan orang lain seperti budak, egoistis, dan tidak punya kesetiaan pada negara tempat tinggal di luar China, tidak selamanya benar.
Rangkaian kekerasan pada etnis Tionghoa yang berulang dalam sejarah Indonesia menjadi benang merah dalam buku yang juga terbit dalam versi bahasa Inggris dengan judul "Breaking The Stereotype" ini.
Buku ini mengungkapkan  pengalaman delapan perempuan dengan berbagai usia dan latar budaya, yaitu aktivis hak asasi Ester Indahyani Yusuf, aktivis buruh dan penulis Linda Christanty, atlet bulu tangkis Susi Susanti, peranakan Tionghoa-Manado Maria Sundah, pemilik restoran Ragusa yang Tionghoa tetapi juga muslim Hajah Sias Mawarni Saputra, janda mendiang politikus Partai Komunis Indonesia Oey Hay Djoen, Jane Luyke Oey, dan kakak adik peranakan Tionghoa-Papua Milana Yo dan Meylani Yo.
Mengangkat perempuan menjadi pilihan tepat mengingat lemahnya posisi kaum hawa dalam setiap peristiwa kekerasan. Teror dan ketakutan pada kerusuhan dan pemerkosaan massal dengan sasaran perempuan Tionghoa Mei 1998 dialami semua tokohnya. Kekerasan dengan skala lokal dialami keluarga Susi Susanti di Tasikmalaya, Jawa Barat, tahun 1997. Kisah beberapa tokohnya juga mengungkap tekanan dan represi yang dialami setelah Gerakan 30 September. Warga Tionghoa menerima represi karena dihubung-hubungkan dengan negara asal leluhur mereka Republik Rakyat China yang berhaluan komunis.
Cerita-cerita dramatis yang mengungkap diskriminasi, kekerasan dalam skala personal, serta kegamangan identitas melengkapi kegetiran itu.
Dengan memperlihatkan diskriminasi dan kekerasan yang terus berulang ini, buku ini menyatakan betapa masalah tersebut telah menjadi permasalahan serius.
Lewat kisah-kisah menyentuh, jelas penulis berusaha memperlihatkan bahwa ikatan kemanusiaan melampaui batas etnisitas. Dengan jernih, Dewi mengupas bahwa stereotip ini merupakan citra yang, mengutip peneliti kekerasan etnis Jemma Purdey, sengaja dibina dan dipertahankan oleh elite politik dari pemerintahan Orde Baru. Dengan memanfaatkan kemakmuran yang rata-rata warga Tionghoa, stereotip negatif itu sengaja dibakar dengan api kecemburuan sosial.

Lintas budaya
Selain isu etnisitas yang diangkat, buku ini kaya dengan pengalaman lintas budaya. Dewi dengan cermat memilih para tokohnya sehingga mewakili keragaman kultur etnis Tionghoa di Indonesia yang terbentuk karena pengaruh budaya lokal. Perbedaan kultur Tionghoa Jawa Tengah dan Jawa Timur serta kisah peranakan Tionghoa-Papua yang masih jarang terangkat ke publik dari kisah Milana Yo dan Meylani Yo, misalnya, memberi kesempatan melongok lebih dalam tentang saling keterpengaruhan budaya itu.
Di sini, pembaca diajak melihat lebih dalam ke berbagai keragaman kultur dan sejarah yang sekaligus juga memperlihatkan adanya tingkatan stereotip yang tidak sama di tiap daerah. Di Papua, stereotip negatif itu nyaris tak dirasakan.
Karya ini merupakan buku non-fiksi Dewi di luar artikel-artikel jurnalistiknya di majalah Tempo dan The Jakarta Post. Sejarahwan dari Melbourne, Australia, Charles A Coppel, mengatakan, Dewi telah membuka pintu untuk cerita-cerita personal yang mencengangkan dan memperdalam pemahaman. Diharapkan cerita-cerita serupa terus bermunculan, bukan dalam kerangka kebencian, tetapi demi membentuk sebuah bangsa yang multietnis.
(Kompas, 18 Oktober 2010)

Jumat, 08 Oktober 2010

POTRET MANAJEMEN MEDIA DI INDONESIA




 
Penulis : Amir Effendi Siregar dkk (12 penulis)
Penerbit : Total Media
Cetakan : I, 2010
Tebal : xvi + 280
ISBN : 979-1519-54-4

Apa itu ilmu manajemen media? Apa bedanya dengan ilmu komunikasi? Pertanyaan itu mengiringi terbitnya buku ini. Dan buku ini menjawab pertanyaan itu dan pertanyaan lainnya.     
Prinsipnya, sebagai ilmu baru, manajemen media didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pengelolaan media berikut prinsip-prinsip dan seluruh proses manajemennya dilakukan. Media memiliki beberapa sisi: sifat komersial dan sosial. Bagaimana keseimbangan dijaga?
Mempelajari manajemen media sangat menarik. Manajemen media penuh ketidakpastian di tengah berbagai perubahan yang memengaruhinya. Di antaranya, perubahan regulasi, fluktuasi ekonomi, sistem permodalan, dan perkembangan teknologi, serta meningkatnya tuntutan dan kesadaran publik.
Sayangnya, sebagai ilmu, kajian tentang manajemen media tertinggal dibanding pengkajian lain, seperti studi jurnalistik, hubungan masyarakat, periklanan, dan penyiaran. Di Indonesia tak banyak literatur manajemen media berbahasa Indonesia. Buku ini menjadi salah satu pilihan.

Sumber:
Naskah: Kompas, 28 Juni 2010
Ilustrasi: bincangmedia.wordpress.com
MENGUAK SEJARAH YANG DISEMBUNYIKAN




 
Judul: Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia
Pascakejatuhan PKI
Penulis: Saskia E Wieringa
Penerjemah: Harsutejo
Penerbit: Galangpress
Cetakan: I, 2010
Tebal: 542 halaman
ISBN: 978-602-8174-38-1

Sejarah adalah milik penguasa. Melalui kecurigaan semacam itu, buku ini menguak fakta sejarah tentang Gerwani, gerakan perempuan Indonesia yang paling disalahpahami semasa Orde Baru, bahkan mungkin tersisa hingga kini.
Penulis buku ini, Saskia Eleonora Wieringa-kini Ketua Gender and Women;s Same-Sex Relation Cross-culturally di University of Amsterdam Belanda-menggambarkan kesalahpahaman terhadap Gerwani itu melalui ceritanya; mengenai mantan anggota Gerwani yang beralih profesi menjadi tukang pijat dan ahli akupuntur terkenal.
Saskia menemui perempuan itu tahun 1985 atau 20 tahun setelah peristiwa 1965, yang oleh penguasa Orde Baru disebut sebagai peristiwa G30SPKI. Kepada Saskia, perempuan tukang pijat itu bercerita:
"Saya sadar anak laki-laki saya sedang menyembunyikan sesuatu terhadap saya. Akhirnya, suatu hari ia mendekati saya dan bertanya, 'Ma, kenapa Mama menjadi anggota kelompok semacam itu, yang moralnya bejat, membawa kerusakan negeri ini? Apakah Mama juga seorang pelacur? Setiap orang bilang semua anggota Gerwani itu pelacur dan wanita busuk.' Bagaimana caranya saya dapat menjelaskan kepadanya, untuk apa kita hidup, apa sebenarnya yang kami cita-citakan dulu?"
Saskia menulis, setelah 20 tahun berlalu, mantan anggota Gerwani yang ia temui hidup dalam trauma. Setelah keluar dari penjara, aktivitas mereka diawasi ketat militer. Mereka juga tak tenang menjalani kehidupan sehari-hari karena mendapat stigma tertentu dari lingkungan. Seperti tergambar pada penuturan tukang pijat tersebut, anggota Gerwani kerap dituduh pelacur dan wanita busuk.
Pada buku ini, Saskia menjelaskan bagaimana konstruksi tentang Gerwani itu dibentuk penguasa Orde Baru. Tingkah laku dan moralitas mereka dicap menyimpang dari kodrat wanita yang mestinya lemah lembut dan penurut.     
Gerwani adalah korban fitnah yang dilekatkan dengan peristiwa pembantaian di Lubang Buaya tahun 1965. Gerwani menjadi obyek penting dalam kampanye nasional tentang keburukan serta bahaya laten komunisme.
Menurut Saskia, buku ini menyajikan sejarah yang selama Orde Baru disembunyikan dalam tiga tingkatan. Pertama, memaparkan feminisme Indonesia dengan menguraikan lebih banyak momen radikal dan penuh keberanian daripada yang pernah disajikan para penulis selama ini. Kedua, menyajikan sejarah yang selama ini dilarang, yakni sejarah Gerwani. Ketiga, dengan mempelajari peristiwa 1965-1966 dari sisi jender, buku ini mengungkap aspek-aspek lain yang bisa menjelaskan proses kelahiran Orde Baru.
Selama ini, aspek-aspek itu tak terlihat karena digelapkan militer ataupun diabaikan penulis sejarah Indonesia modern. Pada akhirnya, buku ini menunjukkan bagaimana penguasa (laki-laki) memperkuat kedudukannya dengan melemahkan gerakan perempuan.

Daftar hitam
Buku ini ditulis berdasarkan tesis Saskia yang berjudul "The Politization of Gender Relations in Indonesia". Untuk tesisnya, Saskia mewawancarai sejumlah mantan anggota Gerwani dan PKI pada awal tahun 1980-an. Akibat aktivitas penelitiannya waktu itu, Saskia sempat masuk daftar hitam negara.
Sebelum buku ini terbit, tesis tersebut juga dibukukan dengan judul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia terbitan Garba Budaya tahun 1999. Mengingat situasi politik saat itu, sebagian besar nama narasumber disamarkan. Kini, nama-nama yang disamarkan dikembalikan ke nama aslinya.   
Dengan menampilkan semua  nama dan kejadian tanpa diedit, buku ini membuka mata pembaca tentang sisi gelap atas peristiwa tahun 1965 serta posisi gerakan perempuan dalam sengkarut peristiwa itu. 
Yosep Adi Prasetyo, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menulis, mempelajari kembali sejarah G30S versi Orde Baru, pembaca akan menemukan benang merah bagaimana rezim Orde Baru menguasai media massa dan menggunakannya untuk kampanye hitam. Cerita kekejian Gerwani menjadi salah satu landasan membangun rezim Orde Baru dan mendongkel rezim Soekarno.
Melalui buku ini, Saskia sukses membongkar babak penting dalam sejarah Indonesia modern, di mana unsur pidana kejahatan terhadap kemanusiaan begitu lengkap terjadi.

Sumber:
Naskah: Kompas, 28 Juni 2010
Ilustrasi: distributorbukukita.com
PENEGUH GERAKAN PEMBARUAN




Judul: 1 Abad Muhammadiyah
Penulis: Tim Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan
Pengembangan PP Muhammadiyah bekerja sama dengan  Lembaga Pustaka
dan Informasi PP Muhammadiyah
Cetakan: Juni, 2010
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: 390 halaman
ISBN: 978-979-709-498-0

Dalam ruang epilog buku berjudul 1 Abad Muhammadiyah, Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif merekomendasikan buku ini sebagai pegangan "wajib" pengurus, aktivis, dan simpatisan Muhammadiyah. Buku setebal 390 halaman itu, menurutnya, layak disebut buku sejarah Muhammadiyah.
Maarif juga menjuluki buku ini sebagai buku paling otoritatif di antara semua literatur tentang Muhammadiyah yang ada. Buku disusun berdasarkan periodisasi sejarah eksistensi Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912. Dipetakan juga gagasan pembaruan sosial keagamaan mulai dari kelahiran, perkembangan, hingga transformasi gagasan sosial keagamaan.
Tim Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan PP Muhammadiyah bekerja sama dengan  Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah mulai menyusun buku sejak Muktamar  Ke-41 Muhammadiyah di Solo tahun 1985. Dari panjangnya proses penyusunan, tak heran jika buku ini menyajikan kelengkapan data serta kaya dengan sajian pembaruan pemikiran. Sayang, buku ini tidak dilengkapi foto atau gambar.
Sejarah Muhammadiyah di buku ini diawali pemaparan konteks sosial keagamaan umat Islam ketika Muhammadiyah berdiri. Muhammadiyah lahir untuk merespons kondisi sosial keagamaan umat Islam yang tidak lagi mempraktikkan agama secara murni, bertabur mistisisme dalam ritual keagamaan, sementara akal tidak berdaya menghadapi tradisi yang penuh kepasifan.
Selanjutnya, buku ini bercerita tentang periode kepemimpinan KH Ahmad Dahlan  (1912-1923) yang memberikan tekanan kuat pada legitimasi sosial, politik, agama, dan kultur bagi Muhammadiyah. Gagasan pembaruan Muhammadiyah pada berbagai bidang memang tidak bisa dilepaskan dari pribadi satu ini.
Pada periode kepemimpian Ahmad Dahlan, muncul gagasan besar Muhammadiyah seperti perbaikan arah kiblat, pelibatan perempuan dalam kegiatan publik, pendirian PKU (Pertolongan Kesengsaraan Umum) Muhammadiyah, serta panti yatim piatu. Ahmad Dahlan tidak punya pengalaman pendidikan Barat, tetapi memberi ruang yang luas bagi gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam.
Semangat rasionalitas itu tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaruan di Timur Tengah yang diprakarsai Djamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Gerakan di Timur Tengah inilah yang menginspirasi gerakan pembaruan Ahmad Dahlan dan membuka pintu ijtihad dan menolak segala bentuk taklid, takhayul, bidah, dan khurafat.
Modernisasi di bidang pendidikan yang dilakukan Ahmad Dahlan antara lain pengembangan sekolah yang mengintegrasikan kurikulum pendidikan agama dengan pendidikan umum. Inilah pertama kalinya pengajaran pendidikan umum diberikan kepada murid di sekolah Islam.
           
Gerakan pemikiran
Dalam tulisan prolognya, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Abdul Munir Mulkhan mengungkapkan, pembelaan terhadap kaum miskin dan tertindas sejatinya sudah menjadi bagian integral dari perjalanan sejarah Persyarikatan Muhammadiyah. Berbagai amal usaha benar-benar menyentuh kalangan bawah, mulai dari kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Buku ini juga memaparkan pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah sepeninggal Ahmad Dahlan. Maarif menambahkan, Muhammadiyah sejak awal  tidak dirancang sebagai gerakan intelektual, tetapi perkembangan zaman setelah menempuh perjalanan satu abad jelas mengharuskan Muhammadiyah menyusun strategi ke arah itu.
Menurut Maarif, pluralisme menjadi prasyarat bagi subur dan berkembangnya gerakan intelektual di muka bumi. Melemahnya gerakan intelektual di dunia Muslim sejak 5-6 abad lalu lebih karena prasyarat pluralisme itu tak lagi terpelihara, bahkan sampai batas-batas yang jauh telah tertindas.
Jika Muhammadiyah mampu menampilkan diri sebagai gerakan pemikiran yang menjadi bagian dari amal saleh, Maarif meyakini sumbangan Muhammadiyah untuk Indonesia ke depan akan lebih bermakna.

Sumber:
(Kompas, 12 Juli 2010)
MATAHARI PEMBARUAN
Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan

Penulis    : HM Nasruddin Anshoriy Ch
Penerbit : Jogja Bangkit Publisher
Cetakan  : I, 2010
Tebal      : 188 halaman
ISBN     : 978-602-97032-1-4

Penulisan dan penerbitan buku ini, seperti diakui penulisnya, berawal dari perbincangan santai. Produksi menjadi serius ketika mereka terlibat diskusi dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah menjelang Satu Abad Muhammadiyah.
Buku berisi lima bagian, minus pendahuluan dan lampiran. Pada pendahuluan, penulis memberi porsi banyak bagi sejumlah tokoh Islam budayawan, yang mengomentari eksistensi gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu.
Secara khusus, penulis juga menekankan bahwa buku itu ingin mencari bukti dan memberi jawab mengenai Muhammadiyah sebagai pembaharu, yang ternyata masih ada yang mempertanyakannya.
Bagian pertama lebih banyak berisi sejarah berdirinya Muhammadiyah. Kedua, menyinggung perpolitikan. Bagian ketiga diberi judul Menjadi Muhammadiyah. Berikutnya berisi tantangan satu abad. Adapun bagian akhir dimuat mutiara kata KH Ahmad Dahlan.

Sumber
Kompas, 26 Juli 2010
MENGGUGAT KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA





Data Buku
Judul   : Menggugat Keistimewaan Jogjakarta
Penulis : Suro Sakti Hadiwijoyo
Penerbit: Pinus
Cetakan : I, 2009
Tebal   : 240 halaman

Tak seperti nama besar yang disandangnya, "Daerah Istimewa Yogyakarta", nasib DIY justru sedang tak "istimewa". Undang-Undang Keistimewaan DIY yang diharapkan meneguhkan keistimewaan itu tak kunjung lahir. Pusaran kepentingan politik menjadikan bangunan keistimewaan DIY dalam keadaan kritis.
Polemik keistimewaan DIY sudah ditulis dan dikupas dalam berbagai artikel di surat kabar maupun buku. Salah satunya, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta, Tarik Ulur Kepentingan, Konflik Elite, dan Isu Perpecahan karya Suryo Sakti Hadiwijoyo. Buku ini, dari sisi waktu, terasa pas untuk dibaca karena hingga kini perdebatan isi keistimewaan terus berlangsung. Nasib RUUK DIY pun belum jelas benar.
Pada bukunya, Suryo-yang pegawai negeri sipil pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Salatiga-menuliskan, tersendat-sendatnya penyelesaian UUK DIY tak semata-mata berkutat masalah hukum, namun lebih kental nuansa politis. Hal itu karena DIY mempunyai posisi tawar cukup kuat di hadapan pemerintah pusat. Itu tak terlepas dari peran pemimpin Kasultanan dan Pakualaman dalam proses dinamika ketatanegaraan di masa kemerdekaan dan reformasi.   
Posisi tawar dari aspek politik yang cukup kuat itu menyebabkan pemerintah pusat cenderung berhati-hati, bahkan bisa dikatakan lamban menyikapi polemik keistimewaan DIY. "RUUK DIY menjadi komoditas politik bagi elite-elite politik tertentu terutama dikaitkan dengan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 maupun pilpres 2009." (hal 190-191)     
Suryo memandang ada empat pihak yang berperan penting bagi masa depan keistimewaan DIY, yaitu lingkungan Kasultanan dan Pakualaman, rakyat, pemerintah pusat, dan elite politik. Keterlibatan Kasultanan dan Pakualamam diperlukan dalam memformulasikan substansi keistimewaan DIY. Dari sisi rakyat, keberadaan daerah istimewa sangat ditentukan kehendak dan keinginan rakyatnya.     
Suryo membandingkan apa yang terjadi di Surakarta, yang sebelumnya juga berstatus Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Kuatnya penolakan DIS oleh gerakan antiswapraja membuat pemerintah pusat mengganti DIS menjadi karesidenan. Namun, sesungguhnya kunci penyelenggaraan pemerintah daerah yang berbasis keistimewaan adalah kemauan politik pemerintah pusat, meski konstelasi politik dan kepentingan elite nasional dan lokal juga sangat berperan.     
Menyoroti mekanisme suksesi gubernur/wakil gubernur, Suryo menawarkan empat alternatif. Pertama, penetapan langsung Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Kedua, pemilihan langsung yang bisa diikuti setiap warga negara tanpa memandang kerabat Kasultanan/Pakualamam atau bukan. Ketiga, pemilihan terbatas, yaitu kandidat dari Kasultanan dan Pakualaman. Keempat, pemisahan institusi Keraton dan Pakualaman. Dilakukan pemisahan jabatan antara Sultan dan PA dengan jabatan gubernur/wakil gubernur. Keduanya ditempatkan pada kedudukan terhormat secara kultural, namun dapat memberi pertimbangan kepada gubernur dan DPRD. Keempatnya diurai keunggulan dan kelemahannya.

Berdasarkan riset
Buku ditulis berdasar riset tesis penulisnya yang berjudul Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Jogjakarta (Perspektif Sejarah Hukum dan Kekuasaan) saat menempuh studi di Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia. Buku ini perlu dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui seputar persoalan keistimewaan DIY.
Buku dilengkapi sejarah dan kajian hukum perundang-undangan yang mendukung maupun yang melemahkan keistimewaan DIY, termasuk menyinggung isu perpecahan keraton. Dari sisi alternatif solusi, hampir tidak ada yang baru.
Buku ini lebih banyak berisi kajian pustaka. Menjadi lebih lengkap bila dilakukan wawancara langsung atau jajak pendapat warga DIY sehingga sejalan dengan semboyan suara rakyat adalah suara Tuhan.   
Buku juga tidak tegas memilih alternatif mana yang terbaik terkait suksesi gubernur/wakil gubernur DIY; hanya memaparkan preferensi pilihan yang tertuang dalam naskah akademik RUUK DIY yang disusun Tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Itu adalah konsekuensi pilihan penulis untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan tidak memihak. Dari sisi teknis, banyak ditemukan salah ketik ejaan yang cukup mengganggu kenyamanan membaca.

Sumber:
Naskah= Kompas, 26 Juli 2010 
Ilustrasi= penerbitpinus.com
TINTA EMAS DI KANVAS DUNIA





Penulis : Pitan Daslani
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetakan : II, Maret 2010
Tebal : xxii + 226 halaman
ISBN : 978-979-709-466-9

Menjadi hebat tak harus pintar dengan kemampuan akademis luar biasa. Begitu pun menjadi dokter hebat dan bereputasi dunia. Dokter Eka Julianta Wahjoepramono membuktikan semua itu. Kerja keras, pantang menyerah, dan percaya diri menjadi senjata gabungan hingga ia dikenal sebagai ahli bedah syaraf bereputasi internasional. Ia dokter bedah syaraf pertama yang sukses membedah batang otak. Sukses besar itu dilakukan tanpa pengalaman sebelumnya.
Ia pun berkeliling dunia memaparkan keberhasilannya, termasuk di antaranya di Harvard Medical School. Ia sering duduk satu meja dengan para dokter bedah syaraf kelas dunia yang sebelumnya hanya ia kenal melalui buku atau diktat.
Semua mungkin karena kerja keras. Bagaimana tidak? Ia tumbuh di tengah keluarga sangat sederhana di sebuah desa di Klaten.  Berkat pakdenya yang kaya, tanpa anak, ia menapaki sukses sebagai dokter seperti sekarang.
Lika-likunya menembus sekolah kedokteran di Universitas Diponegoro Semarang penuh perjuangan. Ia melewati rintangan karena statusnya sebagai warga keturunan. Rintangan itu tak berhenti usai ia lulus kuliah. Namun, ia maju terus.

Sumber:
Naskah= Kompas, 9 Agustus 2010
Ilustrasi= kampusbook.com
GETIR PARA GUNDIK DI ZAMAN KOLONIAL






DATA BUKU
Judul: Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda
Penulis: Reggie Baay
Penerjemah: Siti Hertini Adiwoso
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan: Jakarta, Juni 2010
Tebal: XX + 300 halaman
ISBN:  979-3731-78-8



Periode kolonialisasi Belanda di kepulauan nusantara menghadirkan beragam kisah pilu yang menggugah rasa kemanusiaan. Pada buku ini, Reggie Baay mengangkat salah satu kisah pilu yang jarang dibicarakan saat membahas periode kolonialisasi tersebut.
Buku setebal 300 halaman ini mengulik sejarah pergundikan di era kolonial. Dari buku ini, wajah kolonialisasi jelas tak hanya merampas hak ekonomi dan politik, tetapi juga merepresi manusia pada wilayah yang paling privat.
Baay menjabarkan kisah-kisah para perempuan Jawa yang menjadi nyai atau gundik laki-laki Belanda berikut konteks sosial politik pada era itu. Buku ini menjadi penting karena pembaca diajak melihat dampak kolonialisme dari sisi yang lain. Pergundikan tak hanya menimbulkan penderitaan bagi para perempuan pribumi yang dijadikan nyai, tetapi juga bagi anak-anak berdarah campuran yang mereka lahirkan.
Menurut Baay, para nyai muncul ketika para pegawai perusahaan dagang Belanda (VOC) tiba di nusantara sekitar tahun 1600. Di Hindia Belanda, mereka membutuhkan pembantu untuk mengurus rumah. Pada banyak kasus, pembantu yang biasanya adalah perempuan pribumi itu sekaligus menjadi teman tidur dan ibu dari anak-anak mereka.
Hubungan pergundikan biasanya terjalin dalam posisi tak seimbang. Di sana, ada keterpaksaan karena para gundik sangat tergantung pada tuannya. Tak jarang, mereka dicampakkan begitu saja bila tak diinginkan lagi. Bahkan, sering kali anak-anak hasil hubungan mereka direnggut untuk dibawa ke Belanda.     
Para gundik pun menjadi pendamping "sementara" sebelum para lelaki Eropa menemukan istri Eropa, yang dinilai jauh lebih layak.

Diskriminasi
Para nyai tak memiliki hak secara resmi. Jika ia disuruh pergi keluar rumah majikannya, mau tak mau ia harus pergi dengan tangan kosong. Kondisi itu berbeda jika ia sempat membuat perjanjian dengan tuan sekaligus "suaminya" itu.
Tanpa hak, seorang nyai tak mendapat perlindungan sama sekali dari perlakuan merugikan pasangannya yang majikannya itu. Padahal, kebanyakan lelaki Eropa yang merasa superior-karena kulit putihnya-membenarkan diri untuk berbuat kasar kepada penduduk pribumi, termasuk nyai-nya.
Dari semua diskriminasi, hal yang paling menyakitkan adalah bahwa para nyai tidak bisa menutut hak asuh atas anak-anaknya yang lahir dari pergundikan. Hal itu diatur tegas dalam undang-undang yang berlaku saat itu. Mereka dipaksa berpisah dengan anak-anaknya. Kondisi semacam ini, misalnya, juga digambarkan sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya tetralogi Buru.
Dari sisi Belanda, selaku pihak yang berkuasa pada waktu itu, fakta keberadaan para nyai dianggap aib, kecuali pada tangsi militer. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen pun mengeluarkan larangan bagi laki-laki Eropa untuk memelihara gundik. Hal ini, antara lain, juga dipengaruhi pandangan bahwa perempuan pribumi sangat jelek dan bodoh sehingga hanya akan menghasilkan anak-anak campuran yang tidak berkualitas.
Anak-anak campuran yang lahir dari pergundikan pun hidup dalam ketidakpastian. Mereka dianggap tidak "berdarah murni" sehingga kesulitan mendapatkan fasilitas seperti bapak Eropa mereka. Sebagian dari mereka juga dipisahkan dari ibu kandungnya sejak kecil sehingga tak memiliki kenangan sedikit pun tentang perempuan yang telah melahirkannya.
           
Obsesi pribadi
Obsesi Baay pada kisah para perempuan Jawa yang menjadi gundik laki-laki Belanda didorong sejarah keluarganya. Baay memiliki nenek yang tak pernah ia kenal. Nenek atau ibu dari ayahnya itu diduga seorang perempuan Jawa yang tinggal di sekitar Sragen, Jawa Tengah.   
Sejak kecil, ayahnya dipisahkan dengan perempuan yang melahirkannya sehingga tak punya memori apa pun tentangnya. Seperti ayahnya, ada banyak anak campuran yang tak mengenal ibu kandungnya dan dipaksa mengubur masa lalunya.   
Pada buku ini, Baay menampilkan profil sejumlah perempuan pribumi yang menjadi Nyai, lengkap dengan foto dan kisah mereka. Hanya sedikit nyai yang bisa hidup bahagia dengan suaminya. Kebanyakan nyai tak diketahui kabarnya karena dipaksa pergi dan berpisah dengan keluarga Eropa-nya.
Sedikit kekurangan dari buku ini barangkali terletak pada penyuntingan yang tidak cermat sehingga ada tahun yang tidak runtut. Selain itu, profil para nyai ditampilkan secara kaku dengan kualitas terjemahan yang kurang memuaskan.
Meski begitu, buku ini sangat layak dibaca siapa pun. Lewat buku ini, terlihat bahwa kisah mengenai pemerasan ekonomi dan perbudakan selalu menempatkan perempuan pada obyek. Tak hanya didiskriminasikan dalam hak bersuara, tetapi juga fisik: dipaksa berpisah dengan anak kandungnya.

Sumber:
Naskah: Kompas, 6 September 2010


MELONGOK PAJANG TAK HANYA DARI SISI SEJARAH




 

Data Buku
Judul : Pajang: Pergolakan Spiritual, Politik, dan Budaya
Penulis : Martin Moentadhim
Penerbit: Genta Pustaka
Cetakan : Agustus 2010
Tebal   : 269 halaman + xvi
ISBN    : 978-6029597-15-8


Sedikit literatur yang menjelaskan tentang Kerajaan Pajang. Padahal, kerajaan ini punya peran penting dalam penyebaran agama Islam, khususnya di pedalaman Jawa Tengah. Sayang, Pajang tertelan oleh kebesaran Demak, Majapahit, ataupun Mataram.        Meskipun demikian, potongan masa lalu dan juga kejayaan Pajang itu menarik minat Martin Moentadhim Sri Marthawienata yang lalu menulis buku Pajang, Pergolakan Spiritual, Politik, dan Budaya. Sebuah buku sejarah (lagi) kah yang dibuat?
Ternyata tak melulu menyoal tentang sejarah. Akan tetapi, inilah sisi menarik buku tersebut karena Martin tak mau terjebak menuliskan lagi sejarah Pajang seperti buku sejarah. Penulis merangkai tulisan dari sejumlah literatur dan data.   
Referensi andalannya ialah buku yang disusun dua ahli sejarah Jawa asal Belanda, yakni HJ de Graaf dan Pigeaud. Ada juga lima penulis tamu yang ulasannya diletakkan di halaman belakang buku, yakni Bambang Purwanto (Guru Besar Ilmu Sejarah UGM), Soedarmono (dosen sejarah Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta), Sudarno (Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS), arkeolog UGM Timbul Haryono, hingga sambutan Menko Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono.   
Dunia maya tak ketinggalan diselaminya, seperti dari wikipedia dan sejumlah laman budaya. Artikel sejumlah penulis ikut dikutip, misalnya Munawir Aziz dan Abdul Munir Mulkan. Potongan berita di koran yang menarik tak luput disematkan.
Semua itu dirangkai, dianalisis sendiri menjadi sebuah hipotesis, yang tujuan awalnya mengupas tentang Hadiwijaya yang merintis pemerintahan ala manunggaling kawula gusti. Hadiwijaya yang adalah pendiri dan raja Pajang ini tak lain adalah Jaka Tingkir. Untuk mengawali membaca buku ini, ada baiknya melongok sejenak  tulisan dari penulis tamu agar cukup paham alur cerita tentang kelahiran Pajang. Sebab Martin banyak memakai gaya bercerita untuk mengawali tulisan yang menuju ke hipotesisnya itu.   
Garis besarnya, Pajang mengganti zaman keemasan Majapahit dan Demak. Pajang sempat jaya. Buku ini cukup komplet memaparkan kelahiran Pajang yang diawali dari adanya Kadipaten Pengging.   
Jaka Tingkir, setelah Pengging dikuasai Demak, diangkat jadi adipati Pengging. Dari sini, Martin berkisah secara menarik. Misalnya, ia punya literatur yang menunjuk bahwa Jaka Tingkir berwajah tampan juga gigih berkelana dari dusun satu ke dusun lain untuk menggalang dukungan, utamanya kaum terpinggirkan yang saat itu disebut orang abangan (bukan Muslim yang saleh).   
Strategi perangnya adalah gerilya, memanfaatkan sisa-sisa laskar Majapahit. Kekuatan Pajang karena berbasis masyarakat pedesaan, jauh berbeda dari Demak yang berbasis maritim; sebuah hal menarik yang tak pernah terdeteksi di buku sejarah.
Sejumlah tokoh selain Jaka Tingkir coba diangkat Martin untuk menegaskan kejayaan Pajang. Misalnya, tentang Kanjeng Ratu Kalinyamat. Perempuan ini dua kali memimpin armada Pajang menyerang Portugal di Malaka. Sayang, dua-duanya gagal. Namun, setidaknya  Portugal jera dan tak lagi melirik Pulau Jawa.    Banyak informasi dan tidak semuanya saling memperkuat sudah disadari Martin. Misalnya, tentang penyebab kematian Jaka Tingkir ada beberapa versi. Tentang tahun, beberapa literatur juga tak sama, namun tak jadi soal karena sudah ada kompensasinya, yakni cerita "di belakang layar" tentang Pajang.   
Hanya saja, ada tulisan di buku ini yang melebar jika mengingat judulnya adalah "Pajang". Misalnya, buku ini banyak juga bercerita tentang Demak. Bahkan, ada bahasan tentang migrasi orang Jawa ke Jepang untuk mengenalkan budaya tanam padi.
Tiadanya gambar pendukung maupun ilustrasi menjadikan tampilan buku ini agak kering karena hanya teks melulu. Tampak juga pembahasan yang berulang. Walau demikian, keberanian Martin untuk merangkai informasi dari sana-sani membuat sejarah Pajang tak sekadar terpotret dari sisi sejarah dan kronologis.

Sumber:
Naskah: Kompas, 20 September 2010
Ilustrasi: distributorbukukita.com
LIKA-LIKU KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA




Data Buku:
Judul: Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya
Penulis: Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo
Penerbit: Pustaka Pelajar
Cetakan: Februari 2010
Tebal: 201 halaman + xii
ISBN: 978-602-8479-33-2

Ciri keistimewaan Yogyakarta terletak pada kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai kepala daerah DIY atau gubernur dan wakil gubernur DIY. Itulah yang diyakini para pendukung propenetapan. Apakah memang begitu substansi keistimewaan DIY? Perdebatan tentang keistimewaan DIY hingga kini memang seperti tak pernah habis.
Perjalanan keistimewaan DIY dalam bingkai NKRI yang bisa dikatakan penuh liku menjadikannya tema menarik yang terus dibincangkan dari warung angkringan, jalanan, kampus, hingga lembaga negara. Satu lagi buku tentang keistimewaan Yogyakarta muncul memperkaya khasanah. 
Buku itu adalah Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya tulisan Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo. Buku setebal 201 halaman itu diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Haryadi adalah aktivis lembaga swadaya masyarakat dan dosen lepas, sedangkan Sudomo adalah penulis pidato Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono IX dan pensiunan Asisten I Sekwilda DIY.
Haryadi dan Sudomo mencoba memasukkan berbagai catatan sejarah untuk melengkapi lika-liku perjalanan keistimewaan DIY. Buku ini memasukkan sisi sejarah, hukum, politik, sampai memberikan saran solusi mengakhiri polemik keistimewaan DIY. Keduanya mengawali penulisan buku dari tinjauan sejarah, mulai dari Kerajaan Pajang, terbentuknya Mataram Islam, dan kemudian lahirnya Kasultanan Yogyakarta.
Keistimewaan DIY, menurut Haryadi dan Sudomo, berbeda dengan Aceh. Daerah Istimewa Aceh terbentuk melalui perjalanan panjang, antara lain karena rakyat yang terus-menerus bergejolak dan menuntut  otonomi khusus.
Adapun keistimewaan Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari keputusan Nagari Ngayogyakarta (Kasultanan dan Paku Alaman) untuk bergabung dalam NKRI. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, sebenarnya kesempatan bagi Yogyakarta untuk menjadi negara sendiri. Namun, kedua pemimpin Yogyakarta, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, memilih bergabung dalam NKRI.
Soekarno kemudian memberikan piagam kedudukan kepada HB IX dan PA VIII. Piagam kedudukan itu menjadi catatan sejarah penting tentang deal pemerintah RI dengan nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Melalui piagam itu, pemerintah RI mengakui kedaulatan Yogyakarta. Lalu, HB IX dan PA VIII mengeluarkan Amanat 5 September yang menyatakan mereka berdua bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Buku ini secara singkat mengungkapkan kontribusi Kasultanan dan Pakualaman, serta rakyatnya bagi NKRI yang baru berdiri, seperti memberi dukungan fasilitas dan finansial, sampai peran-peran kunci yang dimainkan HB IX dalam mempertahankan NKRI.

Berbagai ganjalan
Perjalanan keistimewaan DIY sejak awal tidak berjalan mulus. Ada upaya-upaya menggugurkan keistimewaan DIY. Pemerintah pusat sempat ingin membentuk Komisaris Tinggi yang menjadi wakil pusat di DIY. Namun, rencana itu ditolak HB IX dan PA VIII. Kehadiran komisaris tinggi bisa menjadi salah satu sebab kegagalan sebuah daerah istimewa, seperti yang dialami Surakarta. DIY juga hampir gugur karena tuntutan otonomi oleh DPR Kota Yogya.     Secara de jure, DIY baru ada setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, tetapi secara de facto sudah ada sejak tahun 1945. Keistimewaan Yogya ditandai kepemimpinan Sultan dan Paku Alam sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Itu merupakan deal awal Yogyakarta dengan RI yang tertuang dalam piagam pengukuhan dan Amanat 5 September.     
Pada masa Orde Baru, DIY hendak dihapuskan seiring lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1974 yang menekankan prinsip penyeragaman sistem pemerintah daerah meski akhirnya DIY tetap dijamin.      
Pandangan tentang demokrasi kini dianggap terlalu sempit, yang mendefinisikan demokrasi hanya melalui pemilihan langsung. Meski dipimpin raja, DIY justru sejak awal menerapkan demokratisasi modern dengan keberadaan lembaga legislatif (DPRD). Demokrasi di DIY bertolak dari prinsip takhta untuk rakyat.
Menurut buku ini, bila DIY ingin tetap dipertahankan, hendaknya tetap bertujuan menyejahterakan rakyat. Jika substansi DIY tetap memasukkan unsur kepemimpinan Sultan dan PA, raja dan kerabat keraton dituntut memiliki kapasitas dan kompetensi supaya benar-benar dapat menyejahterakan rakyat.     
Buku ini sangat jelas memihak penetapan Sultan dan PA sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY, sebagai bagian dari keistimewaan DIY. Buku ini juga cukup banyak mengungkap perjalanan lika-liku sejarah keistimewaan Yogyakarta meskipun secara singkat. Banyaknya hal yang ingin dimasukkan  membuat pemaparan dalam bab dan subbab pada buku terkesan terlalu singkat dan padat. Namun, secara umum buku ini memberi pengetahuan yang diperlukan untuk memahami keistimewaan Yogyakarta. 

Sumber:
Naskah: Kompas, 4 Oktober 2010
SUARA KEMANUSIAAN DALAM KOLONIALISME




- Judul Buku: Max Havelaar
- Penulis: Multatuli
- Penerbit: Narasi
- Cetakan: 2008
- Tebal: 396 Halaman

Penindasan menyisakan borok bagi mereka yang terjajah dan tercerabut haknya. Bagi "kaum penjajahnya", kisah itu ibarat sejarah kemenangan yang tak boleh diutak-atik lagi. Namun, Multatuli-lewat roman Max Havelaar-justru membuka tabir tersebut kepada dunia. Kemenangan bagi satu pihak adalah kehilangan habis-habisan bagi yang lain.
Max Havelaar adalah roman karya Multatuli-nama samaran Eduard Douwes Dekker-yang terbit pertama kali tahun 1860. Bisa dikatakan, inilah sastra yang pertama kali memuntahkan isi perut kolonialisme. Yang menarik lagi, roman ini ditulis seorang "kulit putih" yang justru mendapat hak privilese pada masa itu.   
Kita pun dibawa ke Hindia Belanda sekitar tahun 1800, tepatnya di wilayah Lebak, Banten. Kala itu, pribumi menjadi lapisan terendah struktur masyarakat.   
Mengapa? Secara hierarkis, Negara Hindia Belanda atau Hindia Timur Belanda dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan hubungan Ibu Pertiwi dengan masyarakatnya. Satu bagian berisi suku bangsa, yang pangeran dan pangeran mudanya mengenal Belanda sebagai pemegang kekuasaan. Meski begitu, tetap saja pemerintahan langsung berada di tangan pemimpin pribumi.
Bagian lainnya adalah warga negara Belanda yang jumlahnya tentu sangat sedikit. Di manakah rakyat pribumi? Otomatis, kala itu orang Jawa adalah warga negara Belanda. Raja Belanda adalah raja orang Jawa. Keturunan dari pangeran dan bangsawan adalah pejabat berbangsa Belanda, demikian ditulis Multatuli.
Dalam nada satir, Multatuli menggambarkan jelas apa yang tengah terjadi, penindasan berstruktur. Raja-raja lokal yang menjadi pemimpin pun ternyata adalah bidak pemimpin di atasnya. Yang juga terbaca adalah ketercerabutan identitas. Tidak ada keindonesiaan di masa tersebut, kesamaan nasib karena ditindas belum melecut warga untuk bermimpi akan Indonesia yang merdeka. Hanya borok dan perih yang bisa dirasa.

Havelaar
Havelaar, Asisten Residen Divisi Banten Kidul (Banten Selatan) yang baru, membaca borok tersebut. Pria berusia 35 tahun ini digambarkan langsing dan cekatan. Dia tidak istimewa kalau dilihat sejenak, tetapi memendam ide-ide yang membakar. Multatuli menggambarkannya seperti "perahu kontradiksi", tajam seperti silet namun berhati lembut seperti seorang gadis.   
Havelaar memang orang Eropa, tetapi dia berbeda dengan koleganya yang lain. Masyarakat Eropa di Hindia Timur Belanda  pun sebenarnya terbagi dua saat itu, yakni orang Eropa asli dan mereka yang tidak lahir di Eropa tetapi menikmati hak yang sama dengan Eropa asli. Meskipun keduanya sama-sama terlahir sebagai hollander, pembedaan nyata terlihat. Mereka yang bukan Eropa asli disebut separuh kasta (liplap).
Bahkan, dalam tubuh "Eropa" sendiri friksi-friksi tersebut menimbulkan ketegangan. Satu contohnya adalah tidak mungkin kala itu orang Eropa akan bergaul dengan liplap.
Havelaar tentu Eropa asli, tetapi ia menerabas apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Eropa pada masa itu. Ia turun langsung dan menyaksikan langsung kelaparan, ketertindasan yang telah digoreskan "kaumnya" pada negeri jutaan pulau.   
Dalam sebuah momen ketika ia dituduh telah melindungi warga oleh seorang Residen, Havelaar menjawab, "Residen, saya adalah Asisten Residen Lebak, saya telah berjanji untuk melindungi masyarakat dari pemerasan dan tirani...."   
Bisa dikatakan, Havelaar pun sebenarnya gamang dengan posisinya sebagai asisten residen. Dengan jabatannya, ia seharusnya bisa mendapat "lebih" banyak uang dengan memeras, seperti yang dilakukan teman-temannya. Namun, ia memilih tidak melakukan.     
Di sisi lain, Havelaar menanggung istri dan anaknya "si kecil Max" yang tak ingin dibiarkannya kesulitan. Dilema ekonomi dan kemanusiaan tersebut begitu nyata dialami Havelaar. Ia memilih kemanusiaannya.

Terjemahan
Membaca Max Havelaar setelah lebih dari 100 tahun diterbitkan tetap menyisakan perih yang sama. Jejak-jejak kolonialisme itu masih nyata di zaman ini. Momen satu abad kebangkitan nasional pun seakan menjadi pengingat bahwa kita pernah terjajah!   
Buku ini akan selalu abadi untuk disimak ketika kita ingin melihat "siapa kita" berabad-abad lalu. Kemudian, sudahkah kita beranjak dari masa satu abad lalu? Atau kita masih terjajah tetapi tak merasa diri dijajah?
Sastra yang satir ini harusnya  bisa menjadi bahan refleksi paling bening kalau saja terjemahannya pun mendukung. Saya kecewa membaca jalinan kalimat yang rumit dan terlalu banyak kata yang dicetak miring. Untuk beberapa kata mungkin artinya penegasan, tetapi ketika terlalu banyak, saya tidak menemukan makna lebihnya.
Belajar dari kurang mulusnya terjemahan, semoga saja ada versi cetak ulang Max Havelaar. Mungkin kita memang perlu membeli hak cipta yang menjamin setiap buku diterjemahkan dengan tepat dan benar. Pembaca berhak untuk itu. Kebenaran yang harusnya bisa mencerahkan bisa jadi menggelapkan karena kesalahan penyampaian bahasa.

Sumber:
Naskah: Kompas, 21 Mei 2008 
Ilustrasi: pda-id.org
SEPUTAR PEMANASAN GLOBAL



 
- Judul Buku: Global Warming for Beginner
- Penulis: Dadang Rusbiantoro
- Penerbit: O2
- Cetakan: 2008
- Tebal: xii + 115 Halaman

Meningkatnya permintaan pasar dunia terhadap jagung dan kedelai ternyata tak hanya memicu kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok, seperti yang telah kita alami beberapa waktu terakhir. Ada dampak tersembunyi yang tidak kalah membahayakan bagi kita seiring dengan meningkatnya kebutuhan biji-bijian itu, yakni memperparah pengaruh pemanasan global.   
Sebagian hal tersebut diulas dalam buku berjudul Global Warming for Beginner, Pengantar Komprehensif tentang Pemanasan Global. Dalam buku ini, ditunjukkan bahwa pemanfaatan tanaman jagung dan kedelai sebagai biofuel alias energi alternatif pengganti bahan bakar minyak memerlukan lahan luas sehingga memicu deforestasi hutan.   
Penjelasan dengan gaya bahasa sederhana yang dilakukan penulis sejak awal menjadi kunci yang memudahkan kita untuk memahami proses global warming dan betapa seriusnya ancaman itu. Seiring dengan peningkatan suhu rata-rata bumi atau pemanasan global itu, malapetaka pun menghampiri kita. Iklim dan cuaca berubah, permukaan air laut meningkat, dan keseimbangan ekosistem akan terganggu akibat pemanasan global.   
Fenomena tersebut akhirnya juga merugikan manusia. Secara langsung, peningkatan suhu akan mengakibatkan wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis meluas. Perubahan iklim dan kekacauan ekosistem juga akan bermuara pada pembuktian teori kondang Robert Malthus, yaitu manusia bertambah mengikuti deret ukur dan makanan bertambah mengikuti deret hitung. Persediaan makanan akhirnya tak cukup karena jumlah manusia yang kian banyak dan tindakan manusia yang merusak alam.     
Pengetahuan bahwa aktivitas manusia kerap kali menimbulkan kerusakan alam juga terdapat dalam isi buku ini. Ada cerita ironi tentang salah satu "paru-paru dunia", yaitu kebakaran hutan di Indonesia dan kehadiran Protokol Kyoto sebagai cikal bakal kesepakatan antarnegara mengenai pengurangan emisi karbon.     
Buku ini menjadi semakin lengkap karena ditutup dengan informasi mengenai langkah-langkah yang bisa kita lakukan untuk menghambat pemanasan global. Beberapa saran itu di antaranya sudah mulai populer di masyarakat, seperti membiasakan diri bersepeda ke kantor (bike to work) atau mengurangi pemakaian AC.

Sumber:
Naskah= digilib-ampl.net
Buku= Kompas, 21 Mei 2008
APA YANG KITA MAKAN?


- Judul Buku: Dangerous Junk Food
- Penulis: Reni Wulan Sari dkk
- Penerbit: O2
- Cetakan: 2008
- Tebal: Viii + 163 Halaman

Jika secara harfiah junk food diartikan sebagai makanan sampah atau rongsokan, maka jika manusia menyantapnya, manusia itu sendiri adalah sampah atau bisa menjadi rongsokan. Ini adalah logika dari pepatah we are what we eat atau kita adalah apa yang kita makan.   
Namun begitu, makanan apa saja yang tergolong dalam junk food terkadang tak diketahui. Atau justru orang cenderung memasukkan segala jenis makanan cepat saji (fast food) macam kentang goreng (french fries), burger, ayam goreng tepung, atau piza ke dalam kategori junk food.
Padahal, kategori junk food itu sendiri bisa lebih luas dari makanan cepat saji yang dijual di waralaba asing. Prinsipnya, segala sesuatu yang berlebihan atau tidak diperlukan tubuh adalah sampah bagi tubuh.
Tak hanya itu, zat-zat lain yang berbahaya bagi tubuh, seperti kandungan gula yang tinggi pada minuman bersoda, zat pewarna makanan, sodium, bahan pengawet, hingga formalin yang terkandung dalam tahu dan mi basah, perlahan menggerogoti tubuh manusia.
Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, penyebab utama kematian di rumah sakit adalah stroke. Dari dua jenis stroke iskemik dan hemorragik-yang terbesar diderita penduduk Indonesia adalah stroke iskemik, sebesar 83 persen dari sekitar 500.000 penduduk yang diperkirakan terkena stroke. Stroke jenis ini diakibatkan aliran darah ke otak terhenti karena asterosklerosis, yaitu penumpukan kolesterol pada pembuluh darah.   
Karena itu, diperlukan kejelian dalam memilah apa saja yang masuk ke dalam tubuh. Fakta lain yang dikemukakan dalam buku ini, antara lain ibu hamil yang mengonsumsi junk food berpotensi melahirkan anak yang rakus, hiperaktif, hingga terkena penyakit jantung bawaan.

(Kompas, 21 Mei 2008)

"BADAI PASTI BERLALU?"





- Judul Buku: Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesia: Badai Pasti Berlalu?
- Penulis: Sri Adiningsih, A Ika Rahutani, Ratih Pratiwi Anwar, R
Awang Susatya Wijaya, Ekoningtyas Margu Wardani
- Penerbit: Kanisius
- Cetakan: 2008
- Tebal: xvii + 181 Halaman

Krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997 tidak pernah terbayangkan akan terjadi pada saat itu. Betapa tidak, kawasan Asia Timur sangat terkenal dengan negara-negara Macan Asianya, seperti Korea Selatan, Hongkong, Singapura, Taiwan, Malaysia, dan Indonesia. Kawasan ini berkembang pesat. Saat itu sering dianggap sebagai "keajaiban dunia" sehingga menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang dalam membangun perekonomian.
Kilas balik peristiwa lebih dari 10 tahun lalu itu mengawali perjalanan isi buku berjudul Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesia, Badai Pasti Berlalu?. Peristiwa mulai jatuhnya Indonesia dalam krisis moneter 1997 dan perjalanan krisis ekonomi setelahnya termasuk upaya untuk keluar dari krisis menjadi inti buku ini.
Apa yang menarik dari buku ini? Buku ini cukup gamblang memaparkan perjalanan ekonomi Indonesia 1997-2007 sekaligus memaparkan tantangan ekonomi ke depan. Termasuk gugatan atas sistem ekonomi liberal yang dianut negara ini, meskipun gugatan itu ditulis sekilas. Buku yang ditulis para peneliti Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada ini memang khas bergaya peneliti disertai data cukup lengkap berbentuk tabel dan grafik. Buku ini memotret dimensi ekonomi makro dan mikro. Ia menyajikan potret sektor moneter, riil, dan fiskal, serta tidak lupa menampilkan potret kondisi sosial masyarakat, seperti kemiskinan dan pengangguran.
Awalnya, pertumbuhan ekonomi berbasis sistem ekonomi liberal memang menunjukkan sisi positifnya, pengangguran menurun dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Namun, akibat sistem itu pulalah negara ini terjun bebas dalam krisis. Krisis ekonomi ini memberi pelajaran berharga. Semakin liberalnya perekonomian menyimpan potensi kerawanan. Perkembangan ekonomi yang pesat tanpa dukungan perkembangan faktor sosial, budaya, politik, dan pendukung lainnya yang selaras bisa menimbulkan potensi destabilitas ekonomi yang besar. Bahkan juga dapat mengguncang stabilitas sosial dan politik.
Pemulihan ekonomi berangsur-angsur dilakukan melalui tiga tahap, penyelamatan, pemulihan, dan pengembangan. Penahapan dilakukan dengan mengombinasikan dengan program IMF. September 1997, untuk mengatasi krisis ekonomi, dikeluarkan lima program utama, yaitu stabilisasi rupiah, konsolidasi fiskal, pengurangan defisit transaksi berjalan, penguatan perbankan, dan penguatan korporasi.
Setelah 10 tahun krisis berjalan, ekonomi Indonesia belum bisa bangkit, tumbuh, dan berkembang seperti yang diharapkan. Meski pada kuartal IV 2004 ekonomi pernah tumbuh 7 persen, secara umum Indonesia masih sulit menembus pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen saat ini. Motor penggerak ekonomi utama seperti investasi dan industri masih berjalan lamban. Perkembangan perekonomian satu dekade menunjukkan kualitas pembangunan ekonomi makin memburuk. Potensi terjadinya krisis ulangan masih tetap ada. "Jangan sampai kita terperosok dalam lubang yang sama". Itulah peringatan yang
disampaikan buku ini. Sejarah memang menjadi pelajaran berharga.

Sumber:
Naskah= Kompas, 23 Apr 2008
Ilustrasi= koskowbuku.wordpress.com
MENJAJAL "HOME SCHOOLING"






- Judul Buku: Secangkir Kopi, Obrolan Seputar Home Schooling
- Penulis: Loy Kho
- Penerbit: Kanisius
- Cetakan: 2008
- Tebal: 262 Halaman

Meski baru dilegalkan Pemerintah Indonesia Mei 2007, home schooling atau pendidikan berbasis rumah sudah begitu populer, terutama sejak pola ini diterapkan oleh sejumlah artis kepada anak-anak mereka. Lewat model pendidikan ini, anak-anak tak perlu datang ke sekolah karena mereka bisa belajar sendiri di rumah dengan peran aktif orangtua. Home schooling juga bukan berarti memindahkan sekolah ke rumah, melainkan proses keluarga dalam mengarungi kehidupan. Setiap anggota keluarga bertindak sebagai siswa sekaligus guru.
Sebagai suatu model pendidikan yang relatif baru, dalam mengimplementasikan home schooling masih banyak masalah yang harus dipecahkan, terutama hal-hal bersifat teknis, seperti tentang penentuan kurikulum, ujian nasional, penjaminan mutu, dan sebagainya. Meski begitu, home schooling menjadi model pendidikan yang layak dicoba. Beberapa hasil studi menunjukkan, dibandingkan dengan mereka yang mengikuti pendidikan di sekolah umum, peserta didik home schooling memiliki prestasi akademik, sosial, dan emosional yang lebih baik.
Obrolan Seputar Home Schooling menyuguhkan cerita sebuah keluarga di Amerika Serikat yang menerapkan home schooling bagi ketiga anaknya. Dengan gaya bahasa bertutur, buku ini lebih mudah dipahami karena pembaca bisa membayangkan situasi yang dihadapi keluarga ini saat menerapkan home schooling.
Lewat buku ini, si penulis yang sekaligus menjadi pelaku bercerita soal kesulitannya pada tahap-tahap awal karena terjebak dalam materi-materi text book seperti di sekolah. Berkat dorongan dari teman-teman, ia pun mengerti bahwa pendidikan bukan sekadar text book tetapi pembangunan karakter si anak. Kesulitan lain adalah konsistensi menjalankan jadwal belajar karena si anak terlena dengan permainan, sementara orangtua dengan aktivitas rumah tangga.
Meski menghadapi sejumlah kendala, home schooling berhasil menciptakan anak-anak tangguh dengan jiwa yang lebih matang. Hal itu tidak saja dialami keluarga penulis, melainkan juga keluarga para sahabatnya.
Untuk memudahkan para pemula yang ingin menjajal home schooling, buku ini juga memberikan informasi seputar kurikulum, yakni kurikulum tradisional atau buku teks, kurikulum Charlotte Mason atau seni mendidik anak dengan lembut, dan kurikulum studi unit, yakni penekanan mata pelajaran tertentu secara lebih mendalam.

Sumber:
Naskah: Kompas, 23 April 2008
Ilustrasi: krismariana.wordpress.com
WAJAH KEKUASAAN... WAJAH KITA...




- Judul Buku: Tangan Besi: 100 Tiran Penguasa Dunia
- Penulis: Monsanto Luka
- Penerbit: Galangpress
- Cetakan: 2008
- Tebal: 291 Halaman


Adalah Alexander Agung (356-323 SM). Dua kitab agama, Quran dan  Bibel, mencatat tokoh ini sebagai raksasa bengis dan tiran dalam  mengembangkan kekuasaan. Quran menyebut Raja Macedonia ini sebagai  Monster Bertanduk Dua, yang akan menghancurkan bumi. Sedangkan Bibel  menyebut Alexander Agung adalah Monster Ketiga, yang melakukan  pembantaian berdarah umat manusia.
Rasanya ukuran moral mana lagi yang akan dikedepankan jika Quran dan Bibel sudah menempatkan seorang Alexander sebagai penguasa yang tiran. Kalau tirani dicatat agama sebagai tindakan yang amoral, maka sebenarnya Alexander adalah musuh agama. Kalau menjadi musuh agama, maka orang itu pasti berada dalam peradaban yang mengingkari konvensi-konvensi hakiki moralitas kehidupan. 
Sejak ayahnya-Raja Macedonia  Philip II-mengangkat Alexander menjadi wali pada tahun 340 SM mulai tampak perangai tirani itu. Ketika itu Alexander yang masih berusia 16 tahun, dengan cepat, bisa menumpas pemberontakan orang -orang Maedi  dan Trace. Kota yang kemudian dikuasai diganti nama Alexandropolis, sesuai dengan namanya. Dua tahun setelah peristiwa ini Alexander melakukan pembantaian pasukan elite dari Thebes.
Tirani itu makin tampak jelas ketika Alexander naik takhta di Macedonia pada tahun 336 SM dengan cara membunuh ayahnya, Philip II. Adik lain ibu yang dipersiapkan untuk mengganti Alexander juga dibunuh, termasuk ibu sang adik yang menjadi istri muda Philip juga dibantai.
Alexander juga menyerang Yunani dan membantai 6.000 penduduk, dan menjadikan 30.000 warga Yunani menjadi budak. Alexander juga membakar hidup-hidup ribuan orang yang terdiri dari ibu dan anak-anak di Kota Tyre, Macedonia Timur. Para lelaki di kota itu dibunuh dengan cara disalib, dan 3.000 lelaki dijual sebagai budak.
Buku berjudul Tangan Besi-100 Tiran Penguasa Dunia karya Monsanto Luka menceritakan cukup gamblang kisah Alexander ini. Sebagaimana judulnya, buku ini memuat polah tingkah 100 tokoh penguasa di dunia dalam mengelola pemerintahan.
Lebih tepat lagi, buku ini mencatat sepak terjang tokoh yang otoriter, kejam, sewenang-wenang, dan cenderung melanggar perikemanusiaan. Di samping memuat nama Alexander, buku itu mengisahkan kekuasaan Fidel Castro, Ayatollah Khomeini, Benito Mussolini, Adolf Hitler, termasuk di dalamnya sepak terjang Soekarno dan Soeharto dalam mengelola negara Indonesia.
Membaca buku itu, yang muncul dalam benak kemudian adalah bahwa setiap kekuasaan selalu diwarnai pertumpahan darah. Dan, itu berlaku dari zaman ke zaman,  sejak zaman sebelum masehi sampai peradaban global ini. Sepertinya sejarah bumi ini adalah darah itu sendiri. Darah yang selalu mengalir dari jasad-jasad yang lemah yang namanya rakyat itu sendiri.
Maka, benar apa yang tertulis di sampul belakang buku ini, bahwa kekuasaan selalu berdampak ganda. Negara kuat berjalan seiring dengan lemahnya posisi rakyat.
Seratus tokoh dalam buku itu adalah juga manusia. Ya, manusia seperti kita. Karena itu, kita pun bisa berlaku sama ketika kekuasaan itu merasuk. Karena itu, wajah-wajah kekuasaan itu adalah juga wajah-wajah kita.
Ya, wajah kita tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan. Bacahlah dalam buku itu, kisah Kaisar Perempuan dari China, Wu Hou  (625-705). Perempuan yang dalam usia 13 tahun sudah menjadi selir kaisar pertama dinasti Tang, bernama T'ai Tsung, berburu kekuasaan dengan tipu daya cinta yang berbisa.
Setelah T'ai Tsung meninggal, perempuan ini mengalihkan cintanya kepada pewaris takhta bernama Kao Tsung dan menjadi istri kesayangan. Dalam posisi inilah, Wu Hou melakukan kekejaman dengan membunuh para perempuan selir kaisar lainnya. Bahkan dia bisa menyingkirkan Kao Tsung suami mudanya itu, dan naik takhta pada  tahun 655.
Saat memerintah itulah, Wu Hou  memengaruhi gerak pemerintahan dengan membunuh siapa saja  yang memprotes hubungan sedarahnya dengan sang kaisar yang juga suami mudanya itu. Kekejian banyak dilakukan selama menjalankan pemerintahannya.

Perenungan
Membaca buku ini, kita memang tidak sedang dihadapkan sebuah cermin kehidupan, melihat satu demi satu, dari kekejian yang satu ke kejian yang lain. Dengan buku itu, kita tidak hanya dibawa ke alam keheranan setelah menyaksikan, membaca tentang manusia dengan senjata kekuasaannya. 
Perenungan lebih jauh tentang buku ini paling tidak akan membawa kita kepada penyadaran diri, yang disebutkan orang Jawa sebagai "tengen ing budi"-selalu peka terhadap setiap perubahan kondisi kemanusiaan kita. Jika setiap individu manusia selalu punya kesadaran dirinya adalah pelayan kemanusiaan, maka kita tidak akan memperlakukan kekuasaan itu sebagai tombak yang haus darah.
Lagu Tamba Ati yang pertama kali dipopulerkan oleh Emha Ainun Nadjib sepenggal syairnya berbunyi ...Uwong soleh kumpulana...." (Orang baik ajaklah berteman....) Ungkapan itu bukan sekadar ajakan untuk masuk dalam lingkaran kebaikan. Lebih dari itu juga mengandung makna, terbentuknya komunitas-komunitas kecil yang selalu bergumul dengan nilai dan harkat kemanusiaan. Jika komunitas-komunitas kecil itu muncul di mana- mana, maka sesungguhnya telah terbentuk sebuah jaringan yang membendung munculnya kekuasaan yang adikuasa.     Kalau toh disebut ada kelemahan, buku ini tidak mencantumkan daftar referensi. Apa pun kategori buku ini, pertanggungjawaban kepada pembaca tetap diperlukan.

Sumber:
Sumber naskah: Kompas, 23 April 2008
Sumber ilustrasi: www.perpustakaan-ngawi.com
Eksistensi Tuhan di Dalam Manusia...


Tiap manusia umumnya tak memungkiri bahwa keberadaannya di dunia ini tak terlepas dari campur tangan Tuhan, Sang Pencipta yang membuatnya ada. Kemanusiaannya pun menjadi sempurna ketika hidup menyatu dengan alam, dunia di sekitarnya. Namun, seiring perjalanan hidupnya, manusia tak selamanya mampu merasakan kehadiran Tuhan. Eksistensi Tuhan pun terus dipertanyakan.

Judul Buku: Dunia, Manusia, dan Tuhan
Penulis: Prof Dr J Sudarminta dan Dr S P Lili Tjahjadi
Penerbit: Kanisius
Cetakan: Februari 2008
Tebal: 293 Halaman

Kesengsaraan. Itulah situasi yang tampaknya paling banyak membuat manusia mempertanyakan keberadaan Tuhan yang dalam ajaran berbagai agama begitu diyakini sebagai pengayom, pelindung, dan pengatur hidup manusia. Orang akan bertanya, di mana Tuhan ketika penderitaan menimpaku? ”Mengapa Tuhan tidak menolong ketika bencana datang?” Pertanyaan lebih kritis yang sering didiskusikan dalam pembahasan-pembahasan teologis adalah mengapa orang-orang baik harus mengalami kejahatan? Mengapa orang benar yang saleh harus tersiksa hidupnya?
Ambil contoh, mengapa Tuhan tidak menyelamatkan semua penumpang yang ada dalam pesawat Garuda yang mengalami kecelakaan hebat di Yogyakarta tahun lalu. Atau, penduduk di berbagai wilayah Jawa Timur mana yang bisa memilih untuk tidak terseret arus banjir atau tertimbun tanah longsor akhir tahun lalu. Semua orang bisa terkena musibah, tidak peduli latar belakang sosial atau bagaimana kehidupannya sehari-hari. Tindak kriminal seperti perampokan, pembunuhan, atau pemerkosaan tidak hanya  menimpa orang jahat saja. Para pejuang yang punya dedikasi bagi dunianya, sebut saja Mahatma Gandhi, atau bahkan Munir, tewas dibunuh. Balasan yang rasanya tak setimpal dengan apa yang sudah mereka berikan semasa hidup.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Budhi Munawar Rachman berpendapat, Tuhan sama sekali tidak terlibat dalam segala kejadian buruk yang menimpa manusia. Terinspirasi dari berbagai materi perkuliahan yang didapatnya dari profesor filsafat dan ahli teologi Louis Leahy di STF Driyarkara, Budhi menyusun pendapatnya itu dalam tulisan Tuhan dan Masalah Penderitaan, yang terdapat dalam buku Dunia, Manusia, dan Tuhan yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius tahun 2008. Menurut Budhi, dalam kehidupannya manusia perlu menyadari bahwa hukum alam yang melingkupinya bukan hanya memberi kesan keteraturan, melainkan juga bisa menyebabkan malapetaka bagi manusia. Ia mencontohkan, hukum gravitasi juga bisa menyebabkan penduduk yang sedang berada di pantai terempas dan meninggal akibat tsunami, seperti yang terjadi di Aceh atau di pantai-pantai lain di Asia.
”Kita tidak bisa hidup tanpa gravitasi dan hukum-hukum alam lainnya, tetapi hidup dengan hukum alam berarti kita juga dikelilingi begitu banyak bahaya yang menyebabkan penderitaan,” kata Budhi dalam tulisannya.
Di sisi lain, manusia memiliki kebebasan untuk mengelola kehidupannya sendiri. Tuhan pun membebaskan manusia untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, seperti yang diyakini Leahy sebagai kekhasan etika agama monoteistik. Hal tersebut menimbulkan dua konsekuensi, yaitu Tuhan tidak akan mencampuri kehidupan manusia agar manusia benar-benar memiliki kebebasan. Manusia pun bebas untuk memilih merusak dirinya sendiri. Sebagai makhluk yang merdeka secara moral, manusia juga bertanggung jawab atas kehidupan yang sudah diberikan kepadanya. Leahy juga percaya bahwa Tuhan selalu ada, bahkan dalam berbagai bencana alam yang menyengsarakan manusia. Tuhan prihatin dengan musibah alamiah tersebut, tetapi tidak bisa ikut campur. ”Ia sudah memberi kebebasan kepada hidup manusia dan memberikan hukum alam yang membuat hidup ini bisa teratur, manusia bisa terus belajar berbuat kebaikan, mengembangkan diri, dan merealisasi apa yang menjadi tujuan hidupnya,” tutur Budhi mengutip pendapat Leahy.
Seperti ungkapan yang diyakini banyak orang Jawa, Gusti ora sare. Tuhan tidak tidur ketika manusia menjalani semua kehidupannya. Persepsi manusialah justru yang menentukan pemaknaan keberadaan Tuhan. Psikologi rasa bersalah yang berkembang dewasa ini terkadang juga menambah penderitaan manusia. Sering kali manusia menyalahkan diri sendiri secara berlebihan atas segala musibah yang menimpanya. Tak jarang manusia menciptakan sendiri rasa bersalah, amarah, kecemburuan, iri hati, maupun dengki yang semakin menambah kesengsaraannya.
Satu hal yang menarik, keberadaan Tuhan sering kali tidak dipertanyakan ketika manusia berada dalam situasi yang membahagiakan. Tuhan acap kali tak masuk hitungan ketika manusia terlalu berfokus pada kemampuan diri sendiri. Kebahagiaan yang bahkan begitu mudah ditemukan ketika ungkapan syukur dipanjatkan pun akan senantiasa terlewat. Selain penderitaan manusia tak bersalah yang sering disebut sebagai ”masalah kejahatan” dalam Filsafat Ketuhanan, Dunia, Manusia, dan Tuhan juga menyertakan 11 esai lainnya yang ditulis khusus untuk mengapresiasi pemikiran Louis Leahy dan merayakan ulang tahunnya yang ke-80, 19 Agustus tahun lalu.
Berbagai hal, seperti hubungan antara lingkungan hidup dan teologi, sains dan agama, sesuatu yang tersembunyi di balik fenomena empirik dan intramundan dari jagat raya, filosofis manusia, pandangan keimanan manusia, dan pemikiran filsafat eksistensialisme dalam merefleksikan pengalaman akan Allah dituangkan 12 penulis dalam buku setebal 293 halaman ini.
Selain Budhi Munawar Rachman, penulis lain yang menyumbangkan karyanya adalah Martin Harun, Zainal Abidin Bagir, J Sudarminta, Karlina Supelli, M Sastrapratedja, SP Lili Tjahjadi, Franz Magnis Suseno, A Sunarko, Martin L Sinaga, Alex Lanur, dan Thomas Hidya Tjaja. Meski membicarakan berbagai pemikiran filsafat dalam bahasa akademis yang terkadang kurang familier bagi masyarakat awam, buku ini bisa menjadi media penambah wawasan bagi mereka yang ingin berkenalan dengan filsafat. Buku ini juga menarik karena mengajak pembaca memahami dirinya serta kemanusiaan manusia itu sendiri.

(Kompas, 7 Mei 2008)